Selasa, 01 September 2015

Desah Nafas

Entah karena sakit hati ditinggal kekasih, atau mungkin ada faktor-faktor penyebab lainnya. Yang pasti aku pun baru menyadarinya ketika akan berhubungan intim dengan seorang gadis remaja. Mulanya aku tak percaya. Tapi bagaimanapun juga, memang harus kuakui bahwa aku mengalami ejakulasi dini. Sebuah keadaan yang sangat memalukan di hadapan seorang wanita. Disaat wanita membutuhkan keperkasaan dari pasangannya, ternyata aku begitu loyo. Belum apa-apa, pertahananku sudah bobol, tanpa bisa dipertahankan lagi. Sungguh suatu penderitaan yang sangat berat. Namun aku tak berani untuk berkonsultasi kepada dokter. Kupendam saja kekuranganku, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan diriku lagi.
Benar sekali. Mengembalikan diriku. Satu tahun sebelumnya, aku seorang laki-laki yang benar-benar normal. Bukan sekali dua kali, aku melakukan persetubuhan dengan kekasihku. Bahkan kekasihku selalu mendapatkan kepuasan dariku. Mungkin juga hal itulah salah satu yang menjadikan hubungan asmaraku berlangsung cukup lama, kurang lebih tujuh tahun. Sebut saja namanya Wiwi. Walau kini pada akhirnya menikah dengan laki-laki lain, namun kenangan yang tercipta dengannya, tak mungkin terhapus dari ingatan.
"Aa laki-laki yang perkasa"
Entah berapa puluh kali, Wiwi mengucapkan kalimat itu, seiap selesai melakukan sex. Apalagi kalau Wiwi bisa bisa mencapai dobel klimaks.
Bukan bermaksud menyombongkan diri, jika aku mengatakan: perkasa. Memang begitulah adanya. Gairah sex-ku selalu menggebu-gebu. Bukan hanya dengan Wiwi. Aku sering melakukan perjalanan ke luar kota. Dan hampir di setiap daerah yang kudatangi, dapat dipastikan aku bisa mendapatkan seorang gadis yang kusukai. Lalu kupacari. Selanjutnya lama kelamaan, menuju kepada jenjang atas ranjang. Sebut saja, aku tidak setia kepada Wiwi. Wajar sekali jika akhirnya Wiwi jatuh kepada pelukan lelaki lain, walau masalahnya bukan karena perselingkuhanku.
Aku tak merasa wajahku tampan, walau banyak yang mengatakan bahwa aku tampan. Kuanggap sebagai banyolan atau rayuan sandal jepit saja. Hanya perkataan seorang gadis China yang agak kupercayai.
"Darma, kamu gagah" Begitu katanya, ketika pertama kali berkenalan di sebuah kafe music.
Nn namanya. Seorang janda, yang usianya satu tahun dibawahku. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik kepadaku. Sampai pada akhirnya, setelah bersahabat selama dua bulan, Nn pun bersimbah keringat tanpa busana, di sebuah hotel yang ada di wilayah Bandung. Dia begitu puas dengan permainanku. Kami mencapai klimaks berbarengan. Dan pengalaman itu pun merupakan yang pertama kalinya, aku melakukan hubungan sex dengan wanita bermata sipit.

Suatu kali, aku pun pernah masuk ke sebuah lokasi prostitusi di wilayah Tanjung Sari - Sumedang (yang saat ini telah diratakan). Aku tertarik kepada seorang WTS yang tengah duduk di sebuah meja. Dia begitu cantik dan menawan. Mengajak kakiku untuk melangkah ke arahnya.
Senyum manis dari bibir merahnya, membuat gairah sexualku terangsang. Apalagi lekuk tubuhnya yang indah, begitu terlihat mencolok dengan pakaian ketatnya. Tanpa banyak basa-basi lagi, aku mengajaknya ke kamar. Tentu saja dia menganggukan kepala, sambil beranjak dari tempat duduknya. Tak lupa, dia pun membawa sebotol bir untuk dibawa ke dalam kamar.
Walau dia seorang WTS, namun aku sempat menanyakan dulu namanya. Entah palsu atau tidak, yang pasti dia mengaku bernama: Ayu. Bahkan dari perbincangan singkat sebelum memulai permainan, aku bisa mengetahui kalau Ayu itu seorang janda yang disakiti oleh mantan suaminya. Klasik. Tapi aku tak tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh, sebab aku sudah tak tahan lagi untuk memulainya. Kupeluk tubuhnya yang telah bugil itu. Beberapa menit, aku bergumul sambil bercumbu. Satu persatu, pakaianku mulai dibukanya. Ayu mengambil posisi di atasku. Sehingga dengan mudah, dia memapah penisku untuk langsung dimasukan ke dalam vaginanya yang telah basah. Kemudian menggoyangkan pantatnya turun naik, diiringi oleh suara erangannya yang menambah gairahku. Pompaannya semakin dipercepat. Sementara tanganku tak hentinya meremas sekujur tubuhnya. Walau susunya sudah tidak terlalu kenyal, namun mulutku tak mau melepaskan sedotan pada putingnya. Nafasnya makin tersengal-sengal. Sampai akhirnya dia menggulingkan tubuhnya. Walau hanya dengan isarat, aku pun bisa mengerti. Ayu meminta ganti posisi.
Aku memang lebih menyukai gaya konvensional. Aku berganti posisi di atasnya, seperti yang biasa kulakukan dengan wanita-wanita lain. Kumasukan penisku dengan mudah. Lalu kupompa dengan perlahan. Tangan Ayu menekan pantatku, sehingga aku tertantang untuk mempercepat gerakannya. Seandainya mulut Ayu tak kusumbat dengan bibirku, pasti suara erangannya akan terdengar dengan jelas. Betapa nikmatnya. Ayu ternyata begitu mahir menggoyangkan pinggulnya. Sampai akhirnya tangan Ayu memeluk tubuhku dengan eratnya. Bibirnya semakin ganas melumat serta menyedot bibirku. Bahkan tangannya berpindah ke rambutku. Menjambaknya dengan agak keras.
Kubiarkan Ayu mengalami orgasme lebih dulu. Aku begitu puas menyaksikannya. Ayu terkapar dengan nafas naik turun. Tangannya sudah tergolek. Keduanya matanya pun terpejam. Sementara aku masih berada di atas tubuhnya. Aku belum mau orgasme. Sehingga aku terus membenamkan penisku turun naik. Tak peduli dengan keadaan Ayu yang sudah tidak respon lagi. Sebab pemandangan seeperti ini, sudah sering kusaksikan, baik dengan Wiwi atau wanita lainnya. Dan memang tak jauh beda dengan Wiwi. Ayu pun diam saja, tanpa melayani, tetapi tidak menolak. Sampai beberapa saat kemudian, aku mulai akan mencapai puncaknya. Kupercepat gerakan pantatku. Kuremas tubuh Ayu dengan lebih keras. Ayu mengerang lebih keras. Kali ini kubiarkan saja. Kurapatkan tubuhku. Ayu mengerti. Dia pun memeluk tubuhku. Dan kugigit lehernya, sambil kupuncratkan maniku yang sudah tak tertahan lagi di dalam pagina-nya.
Aku bangga, bisa mengalahkan seorang WTS. Semakin PD saja. Aku yakin, memang aku perkasa. Ayu pun merasa puas. Dia berterimakasih banyak kepadaku. Entah rayuan atau apa, yang jelas dia mengatakan bahwa akulah tamu pertama yang bisa membuatnya orgasme. Walau begitu, Ayu tetap kubayar. Namun satu minggu kemudian dia menelponku. Dia mengajakku melakukannya di kamar kost-an. Kurang lebih tiga kali, aku melakukan sex di luar jam kerja Ayu. Tentu saja kali ini sangat gratis. Bahkan setiap kali aku ke kamarnya, pasti aku dijamunya.

Itulah sekilas gambaran sosokku, sebelum mengalami masalah ejakulasi dini. Benarkah aku tampan dan gagah? Rasanya biasa saja. Kulitku sawo matang, hanya (mungkin) kelebihanku karena banyak ditumbuhi bulu-bulu pada tubuh. Kalau Tinggi hanya 175 M, dan berat 68 Kg. Masih banyak laki-laki yang lebih segala-galanya dariku. Tapi Aku merasa heran (sekaligus gembira), sebab banyak wanita yang tertarik pada sosokku. Tanpa sadar pula, hal itu membawaku pada sebuah predikat "fly boy". Walau aku tak suka dengan sebutan itu. Cinta kasihku yang tulus, hanya untuk Wiwi. Tapi gairah sexualku terlalu berlebihan. Yang menyebabkan aku ingin melakukan sexual dengan beberapa orang wanita. Tetapi di sisi lain, aku pun tak mau kehilangan Wiwi. Sehingga lumrah sekali, ketika Wiwi dijodohkan orang tuanya, aku begitu terpukul. Sakit hati. Menderita. Sedih. Semuanya berbaur dalam jiwaku.
Kepergian Wiwi dari hidupku, benar-benar membawa pengaruh yang besar. Aku menjadi enggan lagi berhubungan sexual. Sampai bertahan selama satu tahun, aku tidak pernah tidur lagi dengan seorang wanita pun. Disamping tak bergairah, ditambah dengan sikap keseharianku, yang selalu menghindar dari setiap perbuatan yang mengarah ke sana.
Tapi bagaimanapun juga, aku seorang penggemar sex. Lama kelamaan, aku merindukan lagi kehangatan tubuh wanita. Biasanya kalau aku terdesak, Wiwi selalu siap melayaniku. Tapi kini? Wiwi tak ada, dan aku ingin sekali melakukannya. Sampai pada suatu malam, ketika sedang berkhayal di kamar kontrakanku, tiba-tiba datang seorang kawan kuliah. Erik namanya. Dia datang bersama seorang gadis remaja. Kontan saja, aku langsung menanyakan latar belakang gadis yang dibawanya, setengah berbisik-bisik di luar kamar.
Menurut Erik, gadis itu bernama Nia. Baru dikenalnya selama satu bulan. Nia baru duduk di kelas 1 SMU. Usinya pun paling 16 tahun. Tapi kelihatannya sudah dewasa. Dia tidak terlalu cantik, tapi wajahnya manis. Tingginya hampir 170-an. Walau berpakaian longgar, namun aku bisa mengira-ngira bentuk tubuhnya yang montok. Gairahku bangkit, tatkala rok-nya tersingkap waktu duduk. Kulitnya begitu putih dan mulus. Kalau diibaratkan buah, Nia itu masih terlihat segar, dan akan begitu enaknya bila dimakan. Sayang sekali, dia begitu mesranya duduk dengan Erik. Membuatku tidak berani untuk mengganggunya.
Erik menyuruhku membeli rokok, sambil mengerdipkan matanya. Aku langsung mengerti. Walau berat rasanya, aku pun beranjak dari dalam kamar. Kutinggalkan Erik dan Nia berduaan. Dan aku tidak pergi ke warung. Buat apa, rokok masih ada. Aku memilih untuk duduk-duduk di depan kamar kontrakan. Untungnya para penghuni lainnya banyak yang keluar. Kalau pun ada satu dua orang, mereka lebih memilih diam di dalam kamar sambil nonton tivi. Terdengar dari volume suaranya yang cukup keras.
Lama kelamaan, aku merasa penasaran dan tertarik untuk ngintip kawanku melalui lubang kunci. Aku bangkit, dan melangkah perlahan-lahan menuju pintu. Setelah keadaan kuanggap aman, maka aku pun mulai berjongkok dan mendekatkan mukaku pada lubang kunci. Benar sekali, tak jauh dari perkiraan. Erik sedang bergumul dengan Nia dalam keadaan telanjang bulat. Rupanya Erik pun lebih menyukai gaya konvensional. Dia berada di atas Nia, dengan pantat yang turun naik. Tak kulihat wajah Nia, sebab terhalangi tubuh Erik. Hanya tangannya yang melingkar pada punggung Erik. Sama dengan kedua ujung kakinya yang menyilang di atas paha Erik.
Sungguh tak kuasa menahan gejolak keinginanku. Aku semakin terbawa oleh suasana di dalam kamar. Sampai aku pun tak sadar, kalau tetangga kontrakanku sedang memperhatikan di depan pintunya.
"Lagi apa, Kang Darma?" begitu katanya, membuatku benar-benar terperanjat.
Untung saja aku cepat-cepat melakukan tindakan improvisasi.
"Ini kuncinya hilang, Teh" jawabku, setengah berdebar-debar.
Dia adalah Teh Ana. Walau hubunganku baik-baik, namun aku khawatir kalau-kalau Teh Ana melaporkan pada Si Ibu Kontrakan.
"Mungkin jatuh di jalan" Kata Teh Ana lagi, sambil mengulaskan senyumannya.
"Kalau mau minum kopi, di sini aja dulu" Teh Ana menawarkan jasa.
"Kang Didi-nya sudah pulang, Teh?"
"Belum"
"Enggak, ah. Malu" Ucapku sambil tetap berlagak mencari-cari sesuatu.
Aku memang agak risih juga kalau berhadapan dengan Teh Ana. Usianya satu tahun di atasku. Sudah hampir dua tahun menikah, namun belum dikarunia seorang anak. Terkadang aku pun suka tergiur oleh kemolekan tubuhnya. Namun aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Disamping suaminya selalu bersikap baik, aku pun menjaga imej. Walau kuakui, gairah sexualku suka langsung menggebu-gebu, kalau memandang bentuk tubuh Teh Ana yang sexi. Aku tak berani menggodanya. Takut berakibat buruk bagiku. Sukur-sukur kalau Teh Ana mau diajak selingkuh. Kalau tidak? Bisa fatal akibatnya.
"Saya mau nyari dulu ke warung. Kali aja ketinggalan di sana" Kataku sambil melangkah, meninggalkan Teh Ana yang masih berdiri di depan pintu.
Aku memang pergi ke warung. Tapi bukan mencari kunci atau membeli rokok. Aku malah membeli sebotol bir.
Pulang dari warung, pintu kamar Teh Ana sudah tertutup lagi. Tak lama kemudian, kulihat pintu kamarku juga terbuka. Erik keluar sambil tersenyum-senyum sendiri, dengan wajah yang cerah. Lalu dia menghampiriku.
"Kamu mau?" begitu katanya, setengah berbisik.
"Sialan" jawabku, sebab perkiraanku Erik mengajak bercanda atau sengaja memanas-manasiku.
"Ini serius" Katanya lagi dengan penuh keyakinan. Tentu saja hatiku mulai berdebar-debar.
"Bener?" Aku mau meyakinkannya. Erik menganggukan kepala sambil tersenyum.
"Emangnya dia cewek bispak?" Aku masih bertanya lagi.
"Bukan sih. Tapi kalau mau, coba aja"
"Dianya mau?"
"Coba saja kataku juga. Aku mau nyari nasi goreng dulu ah" Erik berlalu dari hadapanku.
Tentu saja aku semakin mendapat angin. Walau agak ragu, namun aku melangkah ke depan pintu. Kudorong perlahan-lahan.
Nia masih terbaring di atas kasurku. Pakaiannya berserakan di lantai, tetapi sekujur tubuhnya ditutupi oleh selimut. Dia menatapku dengan pandangan yang penuh tanda tanya. Sikapnya terlihat kikuk, ketika mengetahui aku yang masuk ke dalam kamar.
"Mana A Erik?" Tanya Nia.
"Lagi ke warung dulu, tuh" Aku mencoba bersikap tenang.
Kuletakan botol bir di atas meja. Lalu kubuka dan kutuangkan sebagian isinya pada sebuah gelas.
"Mau minum?" Aku memancingnya.
Tapi Nia hanya menggelengkan kepala. Kutatap wajahnya dengan penuh perasaan. Namun Nia tampak seperti yang ketakutan. Membuat aku bingung dibuatnya. Kucoba mencari jalan, dengan meneguk bir sampai habis satu gelas penuh.
Nia bangkit tanpa melepaskan selimut penutup tubuhnya. Tangannya menuju ke arah lantai, untuk memungut pakaiannya. Tentu saja aku kecewa. Padahal nafsu birahiku sudah begitu menggebu-gebu. Dan ketika kulit punggungnya terlihat oleh kedua mataku, sungguh tak dapat ditahan lagi. Nafsuku memuncak. Kuhampiri Nia, sekaligus pula kupeluk tubuhnya. Nia nampak begitu kaget. Dia reflek meronta-ronta, ingin melepaskan diri.
"Jangan, A" suaranya tertahan.
Untung sekali dia tak berani berteriak. Membuat aku semakin ganas menggerayangi tubuhnya. Kututup bibirnya dengan ciuman. Dia masih meronta-ronta sekuat tenaga. Kedua tangannya berusaha mendorong dadaku. Namun walau bagaimanapun, aku tak mungkin bisa menghentikannya. Tenagaku lebih kuat. Hingga selimutnya telah kulepaskan dari tubuhnya. Tangan kiriku juga cukup cermat membuka celanaku dengan cepat. Dalam sekejap, tubuh bagian bawahku sudah telanjang bulat.
"A, jangan. Nanti ada A Erik" Nia berusaha menyadarkanku.
Namun tak ada pengaruhnya sama sekali. Tanganku berganti posisi. Tangan kiri kulingkarkan pada lehernya. Sementara tangan kanan menuntun kemaluanku untuk masuk ke lubang vaginanya. Kubiarkan kedua tangannya mencakar dan memukul-mukul tubuhku.
Aku begitu kaget, ketika penisku baru menyentuh bagian luar vaginanya, tiba-tiba ada sebuah desakan pada penis-ku. Tak bisa kutahan. Aku mau mengalami orgasme. Sehingga aku cepat-cepat menggulingkan tubuhku, dan menumpahkan maniku ke atas kasur sambil telungkup. Tak kuberi tahu kepada Nia, kalau aku telah orgasme. Nia tak beranjak. Dia menitikan air matanya. Aku pun memungut lagi celanaku, dan memakainya.
"Trimakasih, A. Ternyata Aa bisa mengendalikannya" begitu kata Nia.
Membuat hatiku merasa lega. Nia mengira, aku telah berusaha mengendalikannya. Padahal sebenarnya aku mengalami kejadian yang sangat pahit, dan baru pertama kalinya kualami semasa hidupku. Mulanya aku tak percaya. Tapi ini nyata. Aku sangat lemah. Bahkan teramat lemah. Loyo. Teramat loyo. Kenapa aku tidak perkasa lagi? Betapa tak berartinya aku sebagai laki-laki. Memang di satu sisi, aku tidak jadi "Memperkosa" seorang wanita lugu. Namun di sisi lain, aku merasa khawatir dengan keadaanku.

Tak ada yang kuberi tahu seorang pun, tentang hilangnya keperkasaanku. Dan untuk memastikan kelainanku, seminggu kemudian aku mengunjungi sebuah lokasi prostitusi yang cukup jauh dari kotaku. Tepatnya di daerah Cianjur. Aku ingin lebih meyakinkan lagi keadaanku. Nafsu sexualku tetap menggebu-gebu. Tapi buat apa, jika tak mampu melakukannya. Sungguh sangat tak berarti. Memalukan..
Tanpa banyak basa-basi lagi, kupilih seorang wanita yang sesuai dengan seleraku. Montok, cantik, putih dan mulus. Tak kutanya nama dan hal ikhwalnya menjadi seorang WTS. Aku langsung saja menggumul tubuhnya. Saling berpagutan bibir, sambil melepaskan pakaian masing-masing. Dorongan birahiku sangat kuat. Dengan penuh nafsu, kubaringkan tubuhnya. Lalu kutindih tubuhnya yang sudah telanjang bulat. Kontan saja, vagina-ku menyentuh pahanya. Kurasakan lagi desakan kuat dari dalam tubuh, yang menjalar pada penis-ku. Jangankan untuk memasukan pada vagina-nya. Baru menyentuhnya juga, aku tak tahan menahan kuatnya arus air mani. Sehingga.. cret.. cret.. maniku muncrat pada perutnya. Lalu aku terkulai lemas.
Dia tersenyum geli, sambil membersihkan penis-ku dengan handuk. Betapa malunya aku. Senyumnya seakan menertawakan aku. Membuat aku cepat-cepat mengenakan pakaian lagi, lalu membayarnya. Kalau saja aku tak malu, mungkin aku sudah berteriak. Aku tak kuasa menerima keadaan seperti ini. Aku benar-benar mengalami ejakulasi dini.

Aku benar-benar tersiksa dengan keadaan seperti ini. Seperti pada suatu hari, ketika aku berkenalan dengan seorang artis panggung. Noni namanya. Seorang janda beranak satu, yang kabarnya suka menjual diri juga. Dan memang kabar itu tidak terlalu meleset. Buktinya dia mulai menggodaku, ketika pada suatu malam mengunjungi tempat tinggalnya. Tentu saja aku melayaninya, sebab aku pun sudah terangsang sejak awalnya bertemu. Terlebih pakaian yang dikenakannya begitu serba mini. Sehingga belahan buah dadanya yang bulat dan besar, terlihat dengan jelas. Pahanya yang montok pun, seperti sengaja dipamerkan, dengan mengenakan rok yang sangat mini.
Sekitar jam sembilan lewat limabelas menit. Anaknya yang baru berusia lima tahun, sudah terdengar suara dengkurnya di dalam kamar. Aku hanya berduaan di ruangan tamu. Duduk di kursi dengan posisi berhadapan. Buah dadanya kian menantangku.
"Saya mau permisi dulu, Mbak" Kataku dengan nada memancing. Ingin memastikan sikapnya.
"Kenapa buru-buru? Tenang saja. Mau nonton film yang baru?" begitu katanya sambil beranjak dari kursi, menuju sebuah televisi. Lalu tangannya membuka laci, dan seperti mencari-cari sesuatu. Tak lama kemudian mengambil sebuah kaset VCD.
"Ini rame, lho" Katanya lagi, sambil menyalakan VCD, yang tersimpan di pinggir TV-nya. Lalu menyetelnya tanpa ragu lagi. Kukira film nasioanal. Ternyata sebuah film semi blue yang sejak awal, sudah mengeksploitas sexual. Kontan saja nafsu birahiku lebih membara. Kulihat gordeng jendelanya sudah tertutup rapi. Tapi mataku tertuju pada daun pintu. Noni pun seperti yang mengerti. Dia menuju ke arah pintu, lalu menguncinya.
Sungguh berani sekali Noni. Dia langsung duduk di sebelahku, dengan merapatkan tubuhnya. Tatapan matanya sudah tak asing lagi. Sebuah ajakan untuk melakukan hubungan sex. Senyumannya membawa bibirku untuk melumat bibirnya. Kami saling bercumbu dengan penuh gairah birahi. Tayangan film pun tak dihiraukan lagi. Aku lebih asik menikmati adegan yang nyata. Buah dada yang sejak awal hanya kulihat, kali ini bisa kuremas-remas dan kujilati dengan lidahku. Betapa nikmatnya permainan ini. Sudah kubayangkan, goyangan pantatnya akan sangat lincah. Sebab aku pernah menyaksikan goyang pinggulnya di atas panggung. Pantatnya berputar begitu indah. Dan kini, aku tinggal menunggu saatnya yang akan segera tiba.
Tangan Noni membuka ikat pinggang dan relesting celanaku. Lalu memasukan tangannya ke dalam celanaku. Penislku yang sudah menegang, dipegangnya dengan kuat, dan dipermainkannya beberapa saat. Sungguh terasa begitu nikmat. Namun lagi-lagi desakan air maniku sudah memaksa untuk keluar. Entah karena tangannya yang begitu lembut atau apa. Yang pasti, aku tak tahan lagi. Aku sadar akan "bahaya". Tanganku cepat-cepat menuntun tangannya keluar dari dalam celanaku. Bersama itu pula, air maniku muncrat.
Aku berusaha untuk tenang. Tidak memperlihatkan sedang mengalami orgasme. Untungnya air maniku tidak kelihatan, sehingga Noni tak tahu apa yang tengah terjadi. Dia tetap mencumbuku, bahkan mulai membuka baju kaosnya. Aku pun berusaha melayani Noni, walau terasa sangat hambar. Demi harga diriku, aku berusaha untuk bergairah. Noni membuka kancing bajuku satu persatu. Sementara tubuh bagian atasnya sudah bugil. Aku memasukan jari tanganku dari bagian bawah rok mininya. Tak terlalu sulit. Kutemukan lubang vaginanya yang sudah berlendir. Bahkan Noni dengan cepat membuka celana dalamnya. Sehingga ketika roknya disingkapkan, aku melihat pemandangan yang begitu indah. Namun aku sudah lemas. Aku tidak bernafsu. Penis-ku sudah tidur lagi. Kupermainkan clitorisnya dengan agak memaksakan.
"Ayo" Noni berbisik dengan nafasnya yang mendesah.
Sejenak aku merasa bingung, dan mencoba mencari jalan untuk menghadapinya.
"Non, saya mau ke air dulu" Akhirnya itulah yang kukatakan.
Noni berhenti mencumbuku dengan keheranan. Tapi dia pun mengangguk, walau terlintas suatu kekecewaan dari raut wajahnya.
"Di mana kamar mandinya?" Tanyaku sambil berdiri. Noni menunjuk ke arah dapur. Aku pun segera beranjak.
Di kamar mandi, aku membuka celanaku. Kubasahi penis-ku, lalu kubalur dengan sabun. Tanganku mencoba untuk mengocoknya dengan cepat. Sulit sekali. Untuk dibangunkan. Kupaksa lagi dengan lebih cepat, sambil menghayalkan kenikmatan sexual. Kurang lebih lima menit kemudian, barulah perlahan-lahan penis-ku berdiri. Aku mulai punya harapan baru. Kupertahankan keadaan penis-ku. Lalu aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi, dan menghampiri Noni dengan mengenakan celana dalam saja.
Noni masih duduk, setengah berbaring di atas kursi. Dia tampak tersenyum, memandangku. Entah senyuman apa. Aku tak peduli. Yang jelas aku dengan cepatnya menindih tubuh Noni. Kubuka celana dalamku. Penis-ku agak mengendur lagi. Cepat-cepat kukocok beberapa kali, dan.. bles.. kumasukan pada vagina Noni. Dengan cepat pula kupompa. Lama kelamaan, aku mulai merasakan keseimbangan. Penis-ku sudah sempurna, masuk-keluar pada vagina Noni. Aku pun merasakan kenikmatan dari goyangan Noni yang memang sangat lincah. Beberapa lama, aku dan Noni saling berpagutan dalam irama yang cepat. Nafasnya sudah terdengar tak beraturan. Tubuhnya pun dibanjiri keringat. Suara desahannya tertahan. Tangannya menekan pantatku dengan keras.
"Emh.. hem" Itulah suara yang keluar dari bibirnya.
Tubuhnya mengejang, sambil tangannya memeluk tubuhku dengan erat. Aku pun dalam keadaan yang sama. Kurasakan puncaknya akan segera tiba. Tubuhku semakin merapat dengan tubuh Noni. Aku memeluknya juga dengan erat. Kutekan penis-ku dalam-dalam, sambil bibirku menggigit lehernya. Cret.. aku rasakan air maniku keluar di dalam vagina-nya. Indah sekali. Bersama itu pula, Noni mencapai orgasme. Terasa ada kehangatan pada penis-ku, yang masih bersarang didalam vagina-nya. Kami mencapai titik orgasme pada waktu yang bersamaan. Aku bahagia. Aku bisa merasakan lagi nikmatnya bersetubuh. Aku bahagia sekali. Sungguh bahagia.
Noni terlihat puas dengan persetubuhan ini. Dia mengajakku menginap di rumahnya. Aku pun tidak menolak, sebab keadaan sudah larut malam. Dengan senang hati, Noni memasakanku mie rebus. Kami makan bersama dengan lahapnya. Tak lupa, Noni pun membuatkan segelas kopi panas. Membuat tubuhku segar kembali. Kuhisap sebatang rokok, sambil menikmati suasana yang begitu menyenangkan.
Satu jam kemudian, Noni mengajaku lagi mendaki puncak kenikmatan. Tentu saja tidak kutolak. Sebab aku pun sudah merasa kuat lagi. Dan yang pasti, gairah birahiku mulai bangkit kembali. Tapi baru saja kami bercumbu, tiba-tiba terdengar suara tangisan anaknya dari dalam kamar. Tentu saja Noni segera berhenti, dan berlari menuju kamar. Aku mengambil nafas panjang.
"Darma" Noni memanggilku dari dalam kamar.
Aku pun cepat-cepat bangkit, dan berlari menuju kamar. Kulihat Noni sedang memeluk anaknya.
"Matikan lampunya!" Kata Noni sambil menunjukan stop kontak, yang letaknya tak jauh dari tempatku berdiri.
Kupijit. Dan keadaan pun jadi gelap.
"Maah, gelaap" suara anaknya terdengar lagi. Padahal tadi kelihatannya sudah tidur lagi.
"Iya sayang, ini ada Mamah di sini. Listriknya mati. Ayo tidur lagi" Terdengar jawaban Noni pada anaknya.
Aku menghampiri Noni dengan hati-hati. Kurebahkan tubuhku di belakang Noni.
"Anakku harus dipeluk terus" Noni berbisik sangat perlahan. Aku pun mengerti.
Kubuka saja dulu seluruh pakaianku. Lalu tanganku meraba tubuh Noni. Kubuka seluruh pakaiannya dengan agak hati-hati. Kupeluk dari belakang, sambil kucumbu bagian lehernya. Turun ke punggungnya, sampai pada pinggangnya. Noni mendesah, tapi tak melepaskan pelukan pada anaknya. Tanganku menerobos belahan pahanya. Lalu kumasukan jariku, mempermainkan clitorisnya. Lagi-lagi Noni mendesah, dan agak menggelinjang. Penis-ku makin menegang. Aku tak kuat lagi, ingin memasukannya. Tangan kiriku melingkar pada lehernya. Tangan kananku bekerja, untuk memapah penis-ku. Noni mengerti. Dia mengangkat pahanya sedikit, memberikan jalan masuk. Walau agak sulit dengan posisi seperti itu, namun akhirnya penis-ku bisa masuk dari belakang. Langsung saja kupompa dengan agak perlahan. Terdengar rintihan tertahan dari mulut noni.
Beberapa lama kemudian, Noni mengambil posisi menungging, dengan tangan yang masih mendekap tubuh anaknya. Aku mengerti, apa yang diinginkan Noni. Sebuah gaya yang sering dilihat dalam film blue. Kuikuti saja, dan memang dengan posisi menungging, penis-ku bisa masuk dengan mudah. Kupompa, keluar-masuk. Walau tidak diiringi cumbuan bibir, namun tetap terasa sangat nikmat. Kukencangkan pompaanku, sambil kupegang ujung rambutnya. Tak ubah, seperti sedang menunggang kuda. Terdengar bunyi ranjang yang bergoyang, bersahutan dengan hentakan nafasnya dalam setiap hentakan penis-ku.
Setelah beberapa lama dengan posisi menungging, tiba-tiba tangan Noni mengeluarkan penis-ku. Lalu dia menarik tanganku untuk turun ke lantai, dengan nafasnya yang makin memburu. Aku disuruh berbaring. Sedangkan dia mengambil posisi di atasku, berhadapan. Tangannya begitu cekatan, memapah penis-ku pada lubang vagina-nya. Lalu dia menggoyangkan pantatnya setengah berputar. Semakin cepat goyangannya, kian terasa begitu nikmat.
"Akh" Ada suara tertahan dari mulutnya.
Aku pun meremas buah dadanya dengan penuh perasaan. Terasa irama goyangannya kian tak beraturan, bersama desahan nafasnya yang makin terdengar keras. Kedua telapak tangannya mengusap-usap bulu dadaku dan memijitnya. Aku mulai menuju puncak orgasme, hingga kuangkat paha, serta kutekan penis-ku kuat-kuat. Noni pun menekan vagina-nya dan menghentikan goyangannya. Lalu tubuhnya mengejang, bersama dengan keluhan panjangnya. Tubuhnya terkulai lemas, menindihku. Aku makin bernafsu. Tinggal beberapa saat lagi, maniku juga akan keluar. Tiba-tiba Noni bangkit dengan sisa-sisa tenaganya. Penis-ku terlepas dari vagina-nya. Tangan Noni memegang penis-ku, lalu mengulum dengan mulutnya. Terasa kontolku disedotnya. Tentu saja, maniku dengan cepat pula muncrat ke dalam mulutnya. Cret.. cret..
"Aah" bibirku pun tak tertahan untuk mengeluarkan suara itu. Noni mengelus-elus penis-ku.
"Sayang, tidurnya di kursi yah" Noni berbisik. Aku pun mengerti.
Noni membantuku mengenakan pakaian. Lalu menggandeng tanganku menuju kursi di ruangan tamu. Aku langsung tertidur dengan pulas dan penuh kepuasan.

Jam sembilan pagi, aku baru bangun. Di meja sudah tersedia segelas kopi dan beberapa macam makanan ringan. Aku memang sangat lapar. Lalu aku cuci muka dan gosok gigi dulu. Setelah itu, barulah aku menyantap hidangan Noni. Sedangkan Noni sendiri entah pergi ke mana. Setelah menghabiskan sebatang rokok, aku bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Kubuka pakaianku. Lalu kubasuh tubuhku dengan air yang begitu jernih. Tiba-tiba, pintu diketuk dari luar.
"Siapa?"
"Noni"
Kubuka pintunya. Noni berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Dia sudah terlihat segar, dengan mengenakan bajunya yang cukup rapi.
"Mana anakmu?"
"Lagi sekolah. Entar jam sepuluh dijemput"
"Di mana?"
"Ya di TK, dong" jawabnya. Membuat tanganku dengan cepat, menarik tangannya.
Noni masuk ke kamar mandi. Kukunci pintunya. Dia pasrah, ketika bajunya kubuka satu persatu. Kukucurkan air pada tubuhnya yang sudah bugil. Noni menggigil. Namun aku senang menyaksikannya. Kupeluk dengan gairah nafsu yang mulai bangkit kembali. Adegan sex pun terulang untuk ketiga kalinya. Bahkan di kamar mandi, aku dan Noni mempraktekan beberapa adegan yang pernah kulihat dalam film blue. Klimaknya kuambil adegan duduk dengan kaki menyilang. Betapa nikmatnya. Tubuhnya seakan ingin menyatu, saking eratnya pelukanku dan pelukannya. Kali ini, kami mencapai puncak klimak bersamaan kembali. Semuanya diakhiri dengan mandi bersama. Noni. Oh, Noni.. Terimakasih. Noni telah mengembalikan kepercayaan diriku kembali.

Jika mengikuti ceritaku dari awal, tentu tak akan asing dengan nama Teh Ana. Tetangga kontrakanku yang cantik dan sexi. Suaminya pun tampan. Seandainya nilai ketampananku 8, maka suaminya adalah 8,5. Tapi yang aku herankan, kenapa Teh Ana tiba-tiba tertarik untuk menghampiriku ke dalam kamar.
Sekitar jam delapan malam, Teh Ana mengetuk pintu kamarku. Tentu saja pada mulanya aku merasa kaget. Disamping tidak biasanya, aku pun heran dengan busana yang dikenakannya. Gaun putih transparan. Jelas sekali, Teh Ana tidak mengenakan BH. Sehingga buah dadanya yang besar dan montok, terlihat oleh kedua mataku. Awalnya, aku gugup juga. Bahkan ada rasa ketakutan dalam hatiku. Tentu saja takut suaminya datang.
"Suamiku lembur" Ucap Teh Ana, seakan bisa menebak rasa kekhawatiranku.
Teh Ana pun tidak segan-segan untuk tidur-tiduran di atas kasurku.
"Enak juga kamarmu" begitu katanya sambil memeluk bantal.
Aku masih termangu, belum mengerti dengan sikapnya dan situasi yang tengah kuhadapi.
"Teteh, apa enggak takut ketahuan sama Ibu Kontrakan? Nanti dikiranya apaan" Aku mengingatkannya dengan ragu.
"Kamu juga kan tidak takut, waktu kemarin three in one?" Teh Ana balik bertanya dengan tenangnya.
Tentu saja aku terkejut.
"Teteh tahu?" Aku terbelalak. Teh Ana cuma senyum sambil menganggukan kepala.
"Sudahlah, itu kan rahasia kita. Aku ada perlu sama kamu. Mau kan nolongin aku?"
"Iya Teh, saya mau"
Tiba-tiba Teh Ana menatapku dengan pandangan yang begitu menggairahkan. Dia seperti ragu untuk berkata. Namun aku berusaha cepat tanggap. Pikirku, apa lagi kalau bukan urusan sex. Maka tanpa banyak basa-basi lagi, kuserbu tubuhnya yang begitu menggoda. Aku melumatnya dengan bernafsu. Bibirnya kupagut dengan mesra, sambil menindih tubuhnya. Tanganku pun mulai bergerak ke arah bawah. Tapi tiba-tiba tanganku dipegangnya.

"Darma, aku belum selesai ngomong"
"Apa Teh?" Aku berhenti mencumbunya. Tapi tubuhku tetap berada di atasnya. Pantatku menekan-nekan dengan perlahan.
"Tapi kamu janji dulu, tak akan bilang siapa-siapa"
"Iya, saya janji, Teh"
"Suamiku sebenarnya seorang homo. Sejak aku menikahnya dengannya, aku belum pernah melakukan sex"
"Astaga" Aku kaget.
"Sstt"
"Lalu? Gimana cara Teteh, kalau pingin?"
"Suamiku membelikan vibrator penis, untuk masturbasiku"
"Terus?"
"Mulanya Aku bertahan untuk menikmati itu. Namun lama-lama, tak tahan juga. Aku ingin yang asli"
"Ayo..!" Ucapku sambil meraba bagian vagina-nya.
"Tunggu dulu..!"
"Apa lagi? Nanti suamimu keburu datang"
"Aku udah minta ijin sama suamiku"
"Apa?"
"Iya, aku udah minta ijin"
"Lalu?"
"Asalnya dia marah. Namun dengan alasan pingin punya anak, akhirnya dia ngijinin dengan syarat"
"Apa saratnya?"
"Yang pertama, saratnya adalah harus dengan satu orang laki-laki. Tidak boleh ganti-ganti"
"Terus?"
"Dia mau ikut"
"Ikut gimana?"
"Three In One"
"Jadi, dia mau ngesex sama saya?"
"Iya bener. Kamu mau kan?"
"Saya cuma mau sama Teteh aja. Saya jijik kalau harus intim sama laki-laki"
"Berarti aku mau cari laki-laki lain"
"Terus kita gimana?"
"Gak jadi" Ucapnya seraya menghempaskan tubuhku.
Tentu saja aku tak mau kehilangan kesempatan seperti ini. Apalagi mendengar Teh Ana masih perawan.
"Oke deh, saya mau. Tapi saya tidak mau anal sex" Ucapku pada akhirnya.
Teh Ana tersenyum senang. Lalu memeluk tubuhku kembali. Sekali membuka gaunnya, tubuh Teh Ana hanya menyisakan celana dalam saja. Kugumul dulu bagian sensitif tubuhnya, mulai dari telinga, leher, buah dada, puting susunya, sampai lidahku turun ke bawah. Teh Ana menggelinjang dengan nafas yang tersengal-sengal. Kubuka celana dalamnya. Kujilati vagina-nya. Lidahku mempermainkan clitorisnya, sambil terkadang kusedot-sedot juga.
"Aduh, Darma. Aku gak tahan" bisik Teh Ana sambil menuntun kepalaku ke atas.
Kubuka baju dan celanaku dengan cepat. Celana dalamku dibukakan oleh Teh Ana. Namun Aku tidak memberikan penis-ku untuk dipegang oleh tangannya. Masih ada sisa rasa takutku pada pengalaman sebelumnya. Aku takut ejakulasi dini lagi. Hatiku berdebar-debar, tatkala penis-ku mulai dekat pada memeknya. Kuraba liang vaginanya. Setelah yakin sudah siap, kumasukan perlahan-lahan dengan hati yang tenang. Teh Nia memejamkan matanya. Bles.. akh.. akhirnya kontolku masuk pada lubang memeknya. Memang agak seret, tapi tidak terlalu sulit. Rasanya tak mungkin, kalau Teh Ana seorang perawan. Sebab vagina perawan, sangat sulit untuk ditembus pertama kali. Tapi aku tak mempedulikan hal itu. Yang penting aku langsung saja memompanya dengan agak perlahan dulu. Kunikmati cumbuan bibirnya yang menyatu dengan bibirku. Tanganku pun menggerayang pada bagian-bagian penting tubuhnya.
"Ehm.. ehmm.. ah.. ih.. ah" suara Teh Nia jelas sekali terdengar oleh kedua telingaku.
Tangannya memeluk erat tubuhku. Entah karena vagina-nya yang agak seret atau apa, baru sekitar empat menit, aku merasakan otot-ototku menegang. Sebagai pertanda akan segera orgasme. Kupacu gerakan pantatku lebih cepat. Terlihat Teh Ana makin asik menikmatinya. Setiap hentakan penis-ku, pasti keluar suara yang berlainan dari bibirnya. Desahan nafas, erangan, rintihan, bahkan jeritan yang tertahan. Sehingga aku tidak tega, jika harus cepat-cepat mengakhiri permainan. Tapi memang desakanku tak bisa kutahan.
Aku menghentikan gerakan pantatku sejenak, untuk menahan arus maniku yang begitu mendesak. Namun Teh Ana tetap menggoyangkan pantatnya, sehingga tidak tertahan lagi, maniku semakin mendekati pintu keluar. Tak ada jalan lagi, selain mengeluarkannya dengan tenang. Aku berlagak belum mengalami orgasme. Ketika air maniku muncrat. Aku berusaha menyembunyikannya dengan cara menggigit telinganya perlahan-lahan. Tak kuhentikan gerakan pantatku, turun naik dengan cepat. Walau sudah lemas dan loyo, aku terus memacunya.
Aku tak tahu, apakah Teh Ana mengetahui orgasmeku atau tidak. Yang pasti dia tetap memejamkan matanya sambil merintih-rintih. Kelihatannya Teh Ana begitu menikmatinya. Aku terus berusaha dengan keadaan sisa-sisa kekuatanku. Kupaksakan, agar penis-ku bertahan. Walau hambar bagiku, namun aku ingin memuaskan Teh Ana. Terus kutekan, sambil menghayalkan keindahan dan kenikmatan. Agar tidak kelihatan lemas dan loyo, lebih kupercepat lagi gerakanku. Mungkin sekitar tujuh menit, baru kurasakan penis-ku menegang lagi dengan normal. Kenikmatan pun menjalar lagi. Sedangkan Teh Nia terus menggoyangkan pantatnya, setengah berputar.
"Darma.. sedikit lagi" Teh Ana berbisik, sambil mempererat pelukannya.
Pantatnya diangkat, menekan penis-ku. Aku pun memompanya lebih kencang lagi. Tak kupedulikan suara desahannya yang makin keras. Tangannya menjabak rambutku. Kedua kakinya menekan pinggangku, dan ujung kakinya melingkar, serta mengunci pahaku. Bibirku dilumat dengan ganasnya. Hingga akhirnya Teh Ana mengeluarkan desahan yang cukup panjang.
"Aakkh" begitulah, Teh Ana terkulai dengan lemas.
Pada saat itu pula, orgasme keduaku akan segera datang. Kuhentakan penis-ku lebih keras. Teh Ana merintih, membuatku makin bernafsu. Semakin keras rintihannya, desakan orgasmeku pun makin menggelora. Kulingkarkan tanganku pada lehernya. Aku bersiap-siap ambil posisi untuk mencapai puncak kenikmatan. Teh Ana pun sepertinya mengerti. Kakinya dilingkarkan lagi pada posisi semula. Tangannya memeluk tubuhku lebih erat. Kugigit bagian bawah telinganya agak keras. Bersama rintihannya, aku memuncratkan maniku di dalam vagina-nya. Cret.. cret.. agh.. Dan akhirnya aku pun terkulai dengan lemas.

Jam setengah sepuluh, Teh Ana sudah kembali ke kamarnya. Aku tidak boleh tidak, harus masuk ke kamarnya jam duabelas malam nanti, setelah suaminya datang. Tak pernah kubayangkan, jika aku harus melayani seorang laki-laki. Kalau saja wanitanya tidak secantik Teh Ana, pasti akan kutolak.
Aku mengisi waktu dengan persiapan kekuatan. Kumakan kuning telur mentah yang dicampurkan dengan sprit. Aku pun makan dulu sampai kenyang. Hingga tak terasa, waktu sudah menunjukan jam setengah dua belas. Terdengar bunyi motor yang tak asing lagi di telingaku. Motor Didi, suaminya Teh Ana. Kubiarkan saja dulu sampai waktunya jam duabelas tepat.
Waktu yang mendebarkan pun telah tiba. Aku bangkit dari tempat duduk, menuju pintu kamar. Tak terlalu jauh, antara pintu kamarku dengan pintu kamar Teh Ana. Hanya beberapa langkah saja. Sehingga tak mungkin, jika ada yang mengetahuinya. Kuketuk pintunya dua kali. Dan tanpa menunggu lama, pintu pun terbuka. Terulas senyuman Didi menyambut kedatanganku.
Ternyata mereka telah lebih siap. Didi hanya mengenakan celana dalam. Dan tiba-tiba Teh Ana pun memelukku dari belakang. Tonjolan susunya terasa hangat dan empuk. Rupanya Teh Ana telah telanjang bulat. Dia membukakan pakaianku satu persatu. Kurasakan kehalusan kulit Teh Ana, membuat penis-ku langsung menegang. Didi yang memperhatikan dari depanku, napasnya terlihat agak memburu. Didi membuka celana dalamnya, penis-nya yang cukup besar itu sudah ngaceng juga. Bahkan Didi tak segan-segan lagi memelukku dari depan. Betapa jijiknya ketika bibirku harus berpagutan dengan bibir Didi. Namun Teh Ana seakan mengerti. Dia tetap memelukku sambil mencumbuku dari belakang.
Didi menarik tanganku ke atas kasur. Aku disuruh merebahkan diri. Lalu dia menindihku sambil menggerayangi sekujur tubuhku. Bibirnya tak mau lepas dari bibirku. Penis-nya ditekankan pada kontolku. Lalu digesek-gesekannya. Sementara Teh Ana hanya duduk di pinggirku, sambil mengusap-usap tubuhku, yang tidak terhalangi tubuh Didi. Tiba-tiba Didi memekik agak keras. Hentakannya bertambah kuat, membuatku pingin muntah. Mungkin dia mau orgasme. Sebab terasa leherku digigitnya. Dan benar juga, terasa ada cairan hangat membasuh sekitar penis-ku. Dia kemudian terkulai dengan nafas yang tersengal-sengal.
Aku muak. Jijik. Apalagi ketika lidahnya menjilati air maninya yang tumpah pada tubuhku. Bahkan dia pun mengulum kontolku. Dan kesempatan itu tak disia-siakan oleh Teh Ana. Dia mencumbuku dengan gairah birahinya. Tubuhnya yang tidak terhalang selembar kain pun, membuat tanganku bebas menggerayang ke mana aku suka. Aku bangkit sambil menarik kontolku dari mulut Didi. Lalu cepat-cepat memasukan pada lubang vagina Teh Ana, yang sudah siap menyambutnya. Dengan gaya konvensional, kontolku sangat aman, keluar masuk vagina Teh Ana. Teh Ana mulai memejamkan matanya lagi. Aku pun merasakan kenikmatan yang tiada tara.
Tiba-tiba punggungku dijilati oleh lidah Didi. Lalu ke telingaku. Bahkan lama-lama lidahnya menerobos di antara bibirku dan bibir Teh Ana yang tengah menyatu. Aku dan Teh Ana tidak meresponnya. Membuat Didi mencari posisi lain. Aku tak peduli. Semakin kupercepat pompaan tubuhku. Aku mulai tahu kelemahan Teh Ana. Vagina-nya harus ditekan dengan keras, agar cepat mencapai orgasme. Kulakukan hal itu, sampai napas Teh Ana tersengal-sengal.
Tiba-tiba aku dikejutkan perlakuan Didi. Dia berusaha memasukan kontolnya pada pantatku. Membuat aku berguling, menggantikan posisi. Teh Ana di atas, aku di bawahnya, masih berhadapan. Terlihat Teh Nia menyenangi posisi seperti ini. Dia leluasa menekan memeknya lebih keras, dan menggoyangkannya. Aku menekan turun naik dari bawah.
"Aukh" Aku tak bisa menahan suaraku, saking nikmatnya.
"Akh" Teh Ana pun menjerit agak tertahan. Rupanya dia sudah mau orgasme. Sama seperti halnya aku.
Teh Ana mempercepat putaran pantatnya sambil menekan. Tubuhnya sudah merapat denganku. Aku pun mengalami hal yang sama. Kugigit lehernya, sebagai isarat bahwa aku pun akan segera keluar.
Namun hal itu nampaknya mengundang nafsu Didi yang makin menggebu. Dia menarik tubuh Teh Ana, setengah memaksa. Lepaslah penis-ku dari vagina-nya Teh Ana. Didi menyuruh Teh Ana, agar berganti posisi. Dia tetap di atasku, namun dengan posisi membelakangiku. Teh Ana yang tengah diburu nafsu yang kian memuncak, tak bisa menolaknya. Dia melakukan semua keinginan Didi. Bless.. penis-ku masuk lagi. Ketika aku akan bangkit, dadaku disorong oleh tangan Didi. Dia mendekatkan batang penis-nya pada mulutku. Sejenak aku benar-benar jijik. Namun Didi memaksanya. Sehingga untuk pertama kalinya, aku mengulum penis. Kupejamkan mataku. Di satu sisi aku merasakan mual dan jijik. Di sisi lain, aku merasakan kontolku semakin nikmat rasanya, dengan hentakan vagina Teh Ana yang makin kuat.
Akhirnya aku mencoba mengkonsentrasikan pada kenikmatan penis-ku. Biarlah bibirku mengulum penis Didi. Kubayangkan menjadi bibir Teh Ana. Apalagi ketika Teh Ana makin mempercepat gerakannya, terasa terbang di atas awan. Melayang-layang dengan kenikmatan. Hingga pada akhirnya, tubuh Teh Ana terasa menegang. Aku pun sama. Puncak orgasme akan segera tiba.
"Akgh.. emh.. sedikit la.. gi" Terdengar suara tertahan Teh Ana.
"Aku juga" suara Didi pun terdengar.
Aku mencoba mengeluarkan kontolnya dari mulutku, takut tertumpah air maninya. Baru saja lepas, cret.. cret.. air mani Didi muncrat mengenai mukaku.
"Agh..!" Didi berteriak.
Aku bangkit seraya menghempaskan penis Didi. Kupeluk tubuh Teh Ana dari belakang. Kubantu dengan hentakan yang lebih dahsyat. Air mani Didi, kubersihkan pada punggung Teh Ana.
"Teh.. Akh" Aku berbisik tertahan, sambil lebih merapatkan lagi tubuhnya.
"Heeh" Teh Ana pun sama halnya denganku. Menekankan vagina-nya lebih keras. Kedua tangannya melingkar ke belakang, menarik pinggangku. Sampai akhirnya.. cret.. cret.. cret.. kutumpahkan maniku dengan nikmatnya. Pantat Teh Ana masih bergerak turun naik. Rupanya dia belum orgasme juga. Sehingga aku bertahan dengan menekan penis-ku lebih dalam.
Mungkin Teh Ana kesulitan orgasme dengan posisi seperti itu. Sebab dia tiba-tiba bangkit, dan berganti posisi. Dia tetap di atasku, namun dengan posisi berhadapan. Kupertahankan penis-ku untuk tetap bertahan. Kasihan Teh Ana. Dia memasukan lagi penis-ku yang telah berlendir. Lalu bergerak turun naik dengan tubuhnya menindihku. Lalu tangannya melingkar pada leherku. Sekitar dua menit lamanya, dia baru terasa menggigit leherku agak kuat. Kubiarkan saja. Sampai akhirnya Teh Ana menghentakan pantatnya untuk yang terakhir kalinya dengan sangat keras, diiringi erangan dari mulutnya yang cukup panjang.
"Aaakh" begitulah Teh Ana.
Kurasakan cairan hangat pada penis-ku yang masih berada di dalam vagina-nya. Lagi-lagi Didi mendekatkan penis-nya pada mulutku. Aku malas sekali. Untungnya Teh Ana mengerti. Teh Ana-lah yang menyambut penis Didi, sambil merangsek maju. Teh Ana mengulum penis Didi. Sementara vagina-nya tepat di hadapanku. Maka aku pun menjilat dan menyedotnya. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba Didi menjatuhkan tubuhnya. Teh Ana pun terguling. Aku tetap memburu vagina-nya. Teh Ana mengangkat paha kanannya, untuk keleluasaan mulutku. Tiba-tiba mulut Didi sudah menempel pada kontolku juga. Begitulah pengalaman pertamaku melakukan three in one. Penis-ku dikulum oleh Didi. Aku menjilati vagina Teh Ana. Sementara Teh Ana mengulum penis Didi.

Aku melakukan three in one, selama lima kali. Tapi tetap, aku menolak anal sex, apapun alasannya. Dan selanjutnya aku tak mau lagi melakukan three in one, sebab tak tahan dengan jijiknya. Aku hanya mau dengan Teh Ana saja. Sehingga aku sering bolos kerja di siang hari. Leluasa sekali kalau melakukannya pada siang hari. Tak ada gangguan. Hingga Aku dan Teh Ana hampir tiap hari melakukannya. Berbagai gaya pun telah kupraktekan dengan diakhiri kepuasan. Sampai pada suatu hari, kami tertangkap basah oleh suaminya. Tak kusangka Didi pulang lebih awal. Untung saja, ketika Didi pulang, kami sedang melakukannya di kamarku. Dia tak bisa masuk, sebab kukunci dari dalam. Dan kami pun menyelesaikannya dulu permainan sampai pada puncaknya, dengan menahan suara.
Setelah kejadian itulah, Didi sikapnya jadi berubah. Dia seperti tak bersahabat lagi. Sampai akhirnya dia membawa pindah istrinya ke kontrakan lain. Entah ke mana. Aku tidak mengetahuinya. Membuatku begitu kehilangan. Setelah dua minggu lamanya berpagutan dalam asmara membara, kini harus terhenti secara tiba-tiba.
Lima bulan kemudian, barulah aku bertemu dengan Teh Ana. Dia menemuiku dengan agak tergesa-gesa. Teh Ana mengabarkan, bahwa dirinya akan dibawa pindah ke Sulawesi Selatan. Aku terharu mendengarnya.
"Terimakasih atas kenangan indahnya" Kata Teh Ana, sambil mengusap perutnya yang telah membesar.
Aku terbelalak. Dia ternyata tengah hamil. Bahkan kandungannya sudah terlihat besar. Kalau dihitung sejak kepergiannya, pasti kandungan Teh Ana telah berusia lima bulan.
Tamat

0 komentar:

Posting Komentar