Minggu, 01 Februari 2015

Ari Suami Temanku

Namaku Ratih, asalku dari Surabaya. Umurku 26 tahun dan sudah lulus dari sebuah universitas terkenal di Yogyakarta. Selama kuliah aku punya teman kuliah yang bernama Iva. Iva adalah teman dekatku, dia berasal dari Medan. Kami seumur, tinggi kami hampir sama, bahkan potongan rambut kami sama, hanya Iva pakai kacamata sedangkan aku tidak. Kadang-kadang teman-teman menyebut kami sebagai saudara kembar. Kami juga lulus pada saat yang bersamaan. Satu-satunya yang berbeda dari kami ialah selama setahun kuliah terakhir, Iva sudah bertunangan dengan Ari, seorang kakak kelasku sedangkan aku masih berpacaran dengan Andy, juga kakak kelasku.

Salah satu persamaan lainnya ialah bahwa saat lulus itu kami sama-sama sudah tidak perawan lagi. Kami saling terbuka dalam hal ini, artinya kami saling bercerita mulai dari hal-hal yang mendalam misalnya tentang perasaan, kegelisahan dan hal-hal lain tentang kami dan pacar-pacar kami. Atau terkadang tentang hal-hal yang nakal misalnya bagian-bagian erotis atau ukuran vital dari pacar-pacar kami, sehingga darinya aku tahu bahwa milik Ari lebih panjang 3 cm dibandingkan milik Andy. Dengan lugas kadang-kadang Iva bercerita bahwa dia tidak pernah merasakan seluruh panjang batang milik Ari, diceritakannya pula bahwa Ari tidak pernah bisa lebih lama dari 3 menit setiap kali berhubungan badan dengannya. Meski begitu dia selalu merasa puas.

Kadang-kadang aku merasa iri juga dengan anugrah yang didapat Iva. Meskipun sebenarnya 15 cm milik Andy pun sudah cukup panjang, tapi membayangkan 18 cm milik Ari terkadang cukup membuatku gundah. Belum lagi aku mengingat-ingat tak pernah Andy sanggup bertahan lebih lama dari hitungan menit, mungkin karena aku dan Andy selalu melakukan pemanasannya lama dan menggebu-gebu (kadang-kadang malah aku atau Andy sudah lebih dulu orgasme pada tahap ini), jadi ketika saat penetrasi sudah tinggal keluarnya saja. Meskipun kadang-kadang cukup memuaskan tetapi rasanya masih saja ada yang kurang. Belum lagi secara fisik, Ari lebih baik dari Andy dari penilaian obyektifku. Semua perasaan itu tersimpan di diriku sekian lama selama aku masih sering berhubungan dengan Iva, yang artinya juga sering bertemu dengan Ari.

Tepat sebulan setelah lulus, Iva menikah dengan Ari. Lalu mereka berdua pindah ke Medan, sedangkan aku sendiri bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Yogyakarta. Beberapa lama kami sering berkirim kabar baik lewat email maupun telepon. Iva sering menuliskan apa saja yang sudah dilakukannya dalam kehidupan suami istrinya. Diceritakannya betapa sering mereka berdua berhubungan intim, sebulan pertama jika dirata-rata bisa lebih dari 1 kali sehari. Dengan nada cekikikan sering juga diceritakannya bahwa memang milik Ari terlalu panjang untuk kedalamannya, bahwa semakin lama Ari semakin tahan lama dalam melakukannya yang oleh karenanya mereka sering terlambat bangun pagi karena semalaman melakukannya sampai dini hari. Juga dengan nada menggoda, diceritakannya betapa hangat semprotan sperma di dalam liang kemaluan.

Cerita yang terakhir ini sungguh merangsangku, karena meskipun telah melakukannya, aku belum pernah merasakan hal itu. Selalu Andy mengeluarkan spermanya di luar atau dia memakai kondom. Di perut atau paha memang sering kurasakan hangatnya cairan itu, tetapi di dalam liang kemaluan memang belum. Singkat kata semakin banyak yang diceritakannya semakin membuatku ingin segera menikah. Masalahnya Andy masih ingin menyelesaikan studi S2-nya yang mungkin kurang dari setahun lagi selesai.

Beberapa bulan kemudian Iva mengabarkan bahwa dia sudah hamil sekian bulan. Semakin bertambah umur kandungannya semakin sedikit cerita-cerita erotisnya. Ketika kandungan sudah beranjak lebih dari 7 bulan, dia bercerita bahwa mereka sudah tidak pernah berhubungan seks lagi. Kadang-kadang dia bercerita bahwa sesekali dia me-masturbasi-kan Ari, karena meskipun secara klinis mereka masih boleh berhubungan seks tapi mereka khawatir. Jadi Ari terpaksa berpuasa. Sekian bulan kemudian lahirlah putra pertamanya, Iva mengabarkan kepadaku berita gembira itu. Kebetulan sekali perusahaanku mempunyai kebijaksanaan adanya liburan akhir tahun selama dua minggu lebih. Sehingga aku memutuskan untuk pergi ke Medan untuk menjenguknya. Andy terpaksa tidak bisa ikut karena dia sedang hangat-hangatnya menyelesaikan tesisnya.

Jadilah aku pergi sendirian ke Medan dan segera naik taksi menuju rumahnya. Rumah Iva adalah sebuah rumah yang besar untuk ukuran sebuah keluarga kecil. Rumah itu adalah hadiah dari orang tua Iva yang memang kaya raya. Letaknya agak keluar kota dan berada di dekat area persawahan dengan masih beberapa rumah saja yang ada di sekitarnya. Ketika aku datang, di rumahnya penuh dengan keluarga-keluarganya yang berdatangan menjenguknya. Ari sedang menyalami semua orang ketika aku datang.
"Ratih, apa kabar? Sudah ditunggu-tunggu tuh!" dia memelukku dengan hangat.
Kemudian dia mengenalkanku kepada keluarga-keluarga yang datang. Aku pun menyalami mereka satu persatu. Mereka ramah-ramah sekali. Ari bercerita bahwa aku adalah saudara kembarnya Iva selama kuliah. Keluarganya saling tersenyum dan berkomentar sana sini.

Sekian saat berbasa basi, Ari segera mengantarku masuk rumah dan langsung menuju kamar Iva. Tampak Iva lebih gemuk dan di sampingnya tampak bayi lucu itu.
"Iva sayang, apa kabar?" aku mencium keningnya dan memeluknya hangat.
"Sudah siap-siap begituan lagi ya?" aku berbisik di telinganya yang dijawabnya dengan cubitan kecil di lenganku.
"Sstt.. harus disempitin dulu nih!" dia menjawab dengan berbisik pula sambil menggerakkan bola matanya ke bawah, aku tertawa.

Singkat kata, hari itu kami isi dengan berbasa-basi dengan keluarganya. Aku akhirnya menginap di rumahnya itu karena semua keluarga menyarankan begitu. Iva dan Ari pun tak keberatan. Aku diberi kamar yang besar di ujung ruangan tengahnya. Rumahnya mempunyai 6 kamar besar dengan kamar mandi sendiri dan baru satu saja yang telah diisi olehnya dan Ari. Hari itu sampai malam kami isi dengan mengobrol di kamarnya menemani sang bayi yang baru saja tidur. Sementara Ari menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai dosen di ruang kerjanya.

Akhirnya aku menyarankannya istirahat.
"Sudah kamu istirahat dulu deh Va!"
"He eh deh, lelah sekali hari ini aku! Kamu masih suka melek sampai malam?"
"Iya nih!"
"Itu ada banyak film di rak! Masih baru lho!"
"Oke deh! Sekali lagi selamat ya!" kucium keningnya.

Aku keluar kamar dan menutupnya perlahan. Ari bercelana pendek dan berkaos oblong baru saja keluar dari ruang kerjanya.
"Mau tidur?"
"Sebenarnya aku sudah lelah, tapi mataku tidak bisa terpejam sebelum jam 2 malam nih! Katanya punya banyak film?"
"Itu di rak, buka aja!"
"Oke deh!"

Ari masuk kamar Iva. Kupilih satu film, judulnya aku lupa, lalu kuputar. Beberapa saat kemudian Ari keluar kamar dan tersenyum.
"Masih dengan kebiasaan lama? Melek sampai malam!"
"He eh nih!"
"Gimana kabarnya Andy?"
"Dua bulan lagi selesai tesisnya! Terus kami mau menikah, kalian datang ya!"
"Oh pasti! Mau minum, aku buatin apa?"
"Apa aja deh!"

Sebentar kemudian Ari keluar dengan dua botol soft drink di tangannya.
"Pembantu pada kelelahan nih! Jadi ini saja ya!"
"Makasih!" aku ambil satu dan meminumnya langsung, rasanya segar sekali.
"Kalo ada perlu aku lagi ngerjain proyek nih di ruang kerja", ketika Ari beranjak sekilas aku melihat tatapan yang belum pernah kulihat darinya, sekilas saja.
"Oke, makasih!"
Tak berapa lama aku melihat film itu, mataku ternyata tidak seperti biasa, tiba-tiba terasa berat sekali. Aku segera matikan player itu, berjalan ke depan ke ruang kerja Ari.
"Ari, aku tidur dulu deh! sudah kumatiin semua!"
"Oke deh, istirahat dulu ya!"

Aku segera masuk kamar, menutup pintu, segera ganti baju dengan kaos tanpa bra dan celana pendek saja dan langsung ambruk di atas ranjang. Aku masih sempat mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur yang remang-remang. Aku langsung terlelap, saat itu mungkin sekitar pukul satu dinihari.

Tak terasa berapa lama aku tidur, ketika aku merasakan sesuatu menindihku. Aku terbangun dan masih belum sadar ada apa, ketika seseorang menindihku dengan kuat. Nafasnya terasa hangat memburu di wajahku. Ketika sepenuhnya sadar aku tahu bahwa Ari sedang di atas tubuhku dan sedang menggeranyangiku dengan ganas, mengelus-elus pahaku dan mencoba mencium bibirku. Beberapa lama aku tidak tahu harus bagaimana. Jika aku berteriak, aku kasihan pada Iva, jika sampai dia tahu. Selain itu sosok Ari telah kukenal dekat sehingga aku tak perlu menjerit untuk membuatnya tidak melakukan itu.

"Ar, kamu apa-apaan?" kataku sambil mencoba mendorongnya dari tubuhku.
"Bantulah aku Rat! Telah lama sekali!" sambil berkata begitu dia terus menggeranyangi tubuhku.
Tangannya mendarat dengan mantap di atas payudaraku dan meremas-remasnya. Jika saja aku tadi masih memakai BH-ku mungkin rasanya akan lain. Tapi kali itu hanya kain kaos yang tipis saja yang memisahkannya dengan tangannya. Selain itu samar-samar kurasakan sesuatu yang mengeras menimpa pahaku. Aku tidak asing lagi dengan benda itu. batang kemaluannya telah tegang penuh."Ari..!" dia mencoba menciumku. Entah antara ingin mengatakan sesuatu atau ingin menghindar, aku malah menempatkan bibirku tepat di bibirnya. Yang terjadi kemudian aku malah membalas lumatannya yang ganas sekali. Beberapa lama itu dilakukannya, cukup untuk membuat puting susuku mengeras, yang kuyakin dirasakannya di dadanya.

"Kalo Iva tahu gimana dong?"
"Ayolah sebentar saja tak akan membuatnya tahu!" bisik Ari.
Entah untuk mencari pembenaran atas keinginan terpendamku atau mencoba untuk terlihat tidak terlalu permisif akhirnya yang keluar dari mulutku adalah, "Ar.. aku akan melakukannya untuk Iva!"
Seperti bendungan jebol, Ari langsung kembali melumatku dengan ganas. Aku pun tampaknya memang telah terhanyut oleh perbuatannya, sehingga langsung membalas lumatan bibirnya. Tampaknya dalam hal beginian Andy lebih jagoan, dia bisa membuatku basah kuyup hanya dengan ciumannya. Sedangkan Ari tampak tersengat ketika aku langsung membalas lumatan bibirnya dengan ganas.

Beberapa lama kami melakukan lumatan-lumatan itu, kemudian Ari bangkit dari atas tubuhku dan berlutut di antara pahaku. Dia kemudian menarik kaosku ke atas tanpa melepasnya dari tubuhku sehingga payudaraku terbuka, terasa dingin oleh AC. Beberapa saat kemudian aku merasakan jemarinya kembali meremas-remasnya perlahan, bukan itu saja kemudian aku merasakan bibirnya mendarat dengan mulus memilin-milin puting susuku yang kurasakan semakin mengeras. Tapi sebenarnya sebagian kecil tubuhku masih menolak perbuatannya itu, mengingat kedekatanku dengan Iva. Meski begitu sebagian besar lainnya tak bisa menolak rangsangan-rangsangan itu.
Beberapa saat Ari bermain-main dengan puting dan gundukan payudaraku. Kemudian dia bangkit dan menarik lepas celana pendek dan celana dalamku. Dengan segera aku merasakan tangannya membuka kedua pahaku dan sebentar kemudian kurasakan jemarinya menyapu permukaan liang kemaluanku. Ujung-ujung jemarinya mengelus-elus klitorisku dengan cepat, cukup cepat untuk membuat rangsangan bagiku. Walau begitu tetap saja gelitikannya semakin merangsangku.

Tak berapa lama dia kembali berhenti. Sekali lagi dalam hal pemanasan ini Andy masih lebih baik dibandingkan Ari. Dalam keremangan, aku melihatnya berdiri dan menarik celana pendek dan kaos oblongnya sehingga Ari akhirnya telanjang bulat. Justru di sinilah nafsuku langsung naik dengan sangat cepat demi menyaksikan tubuhnya di dalam keremangan lampu tidur di kamar itu. Sesuatu di tengah tubuhnya langsung membakarku, batang kemaluan yang sedang tegang dan tampak sedikit melengkung ke atas. Bentuknya yang gemuk, panjang dan berkepala bonggol itu langsung menggelitikkan rasa terangsang yang amat sangat mengalir dari mata dengan cepat langsung menggetarkan selangkanganku.

Aku segera saja merasa gelisah dan tak sabar.
"Ar.. Ke sini deh!"
Dengan bertelanjang bulat, Ari berjalan mendekat kepadaku dan naik ranjang, langsung berlutut di samping tubuhku, batang kemaluannya yang tegak itu tampak jauh lebih besar jika dilihat dari baliknya.
"Ada apa Rat?"
"Kadang-kadang aku punya impian yang bahkan Iva pun tak tahu apa itu?"
"Apa coba?"
"Jangan diketawain ya. Iva sering bercerita tentang ini! Dan kadang-kadang timbul keinginan untuk sekedar memandangnya", sambil berkata begitu kuraih batang kemaluannya itu dan kugenggam erat batang dan sebagian kepalanya sehingga seperti kalau sedang memegang persneling mobil. Ari tampak sedikit gugup ketika genggamanku mendarat mulus di batang kemaluannya tanpa diduga-duga olehnya. Tubuhnya seperti terdorong ke belakang sedikit sehingga semakin mengangkat posisi batang kemaluannya dari posisi berlututnya. Beberapa saat aku merasakan kerasnya batang kemaluannya itu.

Pantas sekali kalau Iva begitu membangga-banggakannya. Dan emang selisih tiga centi terasa sekali secara visual.
"Nih sudah, kamu boleh apain aja deh! Oh ya Iva sudah cerita apa saja ke kamu?"
"Banyak pokoknya!"
"Kalo sama punya Andy?"
"No comment deh!" nada bicaraku agak mendesah.
Ari tersenyum dan bangkit dari sampingku terus membuka pahaku dan mulai mengambil posisi. Ketika bangkit aku melihat pinggulnya seperti bertangkai oleh cuatan batang kemaluannya itu. Dia memandangku sebentar, kubalas dengan pandangan yang sama.
"Pelan-pelan ya Ar!"
"Lho, sudah pernah khan?"
"Iya, tapi.."
"Tidak segini ya?" Dia kembali tersenyum.

Aku cuma tersenyum kecut demi ketahuan kalau punya Andy tidak sebesar punyanya. Perlahan-lahan Ari mengangkat kedua pahaku dan menyusupkan lututnya yang tertekuk di bawahnya sehingga ketika dia meletakkan pahaku kembali keduanya menumpang di atas paha atasnya yang penuh rambut. Dengan posisi seperti itu selangkangannya langsung berhadapan dengan selangkanganku yang agak mendongak ke atas karena posisi pahaku. Aku hanya bisa menunggu seperti apakah rasanya. Aku merasakan perlahan-lahan Ari membuka sekumpulan rambut kemaluanku yang rimbun di bawah sana dan beberapa saat kemudian sesuatu yang tumpul menggesek-gesek daging di antara sekumpulan itu dengan gerakan ke atas dan ke bawah menyapu seluruh permukaannya, dari klitoris sampai ke lubang kemaluanku. Rasa terangsangku segera memuncak kembali merasakan sensasi baru itu.

"Ayolah Ar, keburu bangun!"
"Ini baru jam 3.15"
"Iya siapa tahu?"
Perlahan-lahan aku merasakan gesekan kepala batang kemaluannya tadi berhenti di area dekat lubangku tepat pada posisi membuka bibir-bibir labiaku sehingga langsung berhadapan dengan lubang di bawahnya itu. Sesaat kemudian sesuatu yang besar dan tumpul serta hangat menyodoknya perlahan-lahan. Tanpa hambatan yang terlalu kuat, kepalanya langsung masuk diikuti batangnya perlahan-lahan. Aku segera merasakan nikmat akibat gesekan urat-uratnya itu di dinding lubang kemaluanku. Sampai tahap ini sebenarnya rasanya tidak beda jauh dari punya Andy, walaupun tidak sepanjang punya Ari ini tapi cukup gemuk. Tapi semakin lama tubuhku segera bereaksi lain ketika batang itu mulai masuk semakin dalam. Dan ketika semuanya masuk ke dalam, aku segera merasakan rasa nikmat yang amat sangat ketika ujung kepala batangnya itu mentok di dinding bagian dalam liang kemaluanku. Aku segera mencari lengannya dan mencengkeramnya erat.

Ari berhenti sesaat dan menarik nafas panjang sekali.
"Rat.. Ini yang kucari!" Ari berbisik perlahan sekali tapi cukup terdengar olehku. Kutahu apa yang dimaksudnya. Sesuatu yang sanggup menelan semua panjang batangnya itu. Ari tidak segera bergerak tapi seperti menggeliat dalam tancapan penuh batang kemaluannya ke dalam liang kemaluanku itu. Tampaknya reaksi dari bagian yang belum pernah tertelan itu sangat mempengaruhi dirinya. Dia bahkan belum bergerak sampai sekian puluh detik ke depan, wajahnya tertunduk, kedua tangannya mencengkeram pinggulku, meraih-raih pantatku dan meremas-remasnya dengan ganas cenderung kasar. Dengan sedikit nakal, aku mencoba mengejan, mengkontraksikan otot-otot di sekeliling selangkanganku.

Walaupun terasa penuh oleh masuknya batang kemaluannya itu aku mulai bisa melakukan kontraksi itu dengan teratur. Tak terlihat tapi efeknya luar biasa. Aku merasakan kedua tangannya dengan liar memutar-mutar, meremas dan mencengkeram bongkahan pantatku, pastinya karena reaksi dari apa yang kulakukan pada batangnya itu. Dia segera ambruk di atas tubuhku dan segera mengambil posisi menggenjot, kedua tangannya diletakkan di antara dadaku, salah satunya menyangkutkan paha kananku sehingga mengangkat selangkanganku ke atas sedangkan paha kiriku otomatis terangkat sendiri. Paha kanannya masih tertekuk sedangkan kaki kirinya diluruskannya ke bawah sehingga mempertegas sudut tusukan batang kemaluannya di liang kemaluanku.

Dia mulai mencabut batang kemaluannya yang beberapa lama tadi masih tertancap penuh di dalam tubuhku dan belum sampai tiga perempat panjang batangnya keluar, dia langsung menghujamkannya dengan kuat ke bawah sehingga menekan kuat area ujung rahimku. Kemudian ditariknya lagi dan ditusukkannya kembali. Mulailah terasa beda pengaruh panjangnya terhadap kenikmatan yang kurasakan. Hal ini mungkin dikarenakan bidang gesekan satu arahnya yang panjang dan lebih lama sehingga mengalirkan kenikmatan yang lebih kuat pula.

"Arr..! Jangan kuat-kuat..!" tapi sebenarnya aku sangat menikmatinya. Ari tampaknya tak peduli, dia terus saja bergerak-gerak dengan kuat dan semakin cepat. "Oh.. Rat.. Ratih!" dia terus menggenjot dan tak terasa begitu cepat 5 menit yang pertama terlewati dan dia masih tangguh saja memompa liang kemaluanku. Benar kata Iva. Pagi itu tak ada seorang pun yang bangun dan terjaga, tapi kami berdua malah sedang mencoba mendaki dengan alasan yang berbeda. Kalau Ari karena tak tahan menunggu Iva berfungsi kembali sedangkan aku karena ingin saja. Sekitar sekian saat setelah 5 menitnya yang ketiga, aku jebol. Gesekan urat-urat batang kemaluannya itu meledakkan tubuhku dengan kuat sehingga membuatku menjepitkan pahaku ke tubuhnya. Bukan itu saja senam yang teratur yang aku ikuti ternyata berguna pada saat itu.

Tepat pada puncaknya kutahan kontraksi di liang kemaluanku dan sekuat tenaga kupertahankan agar tidak segera meledak. Sesaat aku merasakan aliran arus balik di tubuhku tapi tidak lama jebol juga sehingga dibawah genjotan cepatnya aku merasakan tiba-tiba seperti melayang di angkasa luas tanpa batas. Tubuhku kaku, kejang, nafasku memburu dan keluar tertahan-tahan bersamaan dengan keluarnya bunyi-bunyian yang tidak jelas nadanya dari bibirku.

"Ohh.. eehh.. hmm.. Ar.. yang kuat!" Mungkin gabungan antara suara dari bibirku dan mungkin cengkeraman-cengkeraman kuat dari dinding-dinding liang kemaluanku, segera membuatnya bergerak cepat dan kuat sekali. Aku tidak pernah merasakan kekuatan sekuat dan setahan itu dari Andy. Tubuhku kejang sampai dia menyelesaikan 5 menitnya yang keempat dan masih terus bergerak mantap. Sampai orgasmeku mereda aku merasakan gerakannya semakin cepat dan kuat dan belum sampai pertengahan 5 menitnya yang kelima, Ari pun jebol juga.

Posisi kami selama itu masih belum berubah, tapi ketika dia mau menyelesaikan genjotan-genjotan terakhirnya dia menggerakkan tubuhku ke kiri sehingga menggerakkan seluruh tubuhku miring ke kiri dan paha kananku tepat menumpang di atas dadanya sedangkan paha kiriku berada di antara kedua pahanya. Ketika posisinya pas, dia langsung bergerak cepat. Dalam posisi itu ternyata rasanya lain karena yang menggesek dinding lubang kemaluanku pun dinding yang lain dari batang kemaluannya. Tapi orgasmeku yang pertama rasanya terlalu kuat untuk diulangi dalam waktu sedekat itu, sehingga meskipun rasanya memuncak lagi tapi ketika aku merasakan semprotan-semprotan panas seperti yang diceritakan Iva kepadaku itu aku belum bisa meraih orgasmeku yang kedua.

"Hoohh.. Hooh.. Hoo.. Rat..Ratih!" Ari bergerak-gerak tak teratur dan hentakan-hentakannya ketika orgasme itu tampak liar dan ganas tapi terasa nikmat sekali bagiku. Aku memegang kedua lengannya yang berkeringat sampai dia menyelesaikan orgasme itu. Sesekali aku mengusap wajahnya dengan lembut. Beberapa lama tubuhku kaku karena posisi kaki-kakiku itu, sampai akhirnya dia ambruk di samping kiriku. Batang kemaluannya tercabut dengan cepat dan semuanya itu membuat posisi kembaliku agak terasa linu, terutama di paha bagian dalamku.

Kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Aku telentang sedangkan Ari tengkurap di sampingku basah kuyup oleh keringat. Tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu perlahan-lahan dari balik pintu kamar. Tiba-tiba Ari panik dan segera mengenakan celana pendek dan kaosnya. Batang kemaluannya meskipun sudah lemas tapi masih belum seluruhnya lemas sehingga tampak menggunduk di celana pendeknya. Aku melirik jam, sudah hampir jam 4 pagi. Ari dengan sedikit tertatih-tatih berjalan perlahan tanpa suara ke arah pintu kamarku, membukanya perlahan dan sebelum keluar sempat melihatku sejenak dan tersenyum.

Tinggallah aku sendiri di kamarku dan aku mencari-cari celana pendekku dan segera mengenakannya. Aku terus menarik kaosku ke bawah sehingga menutupi payudaraku yang pasti penuh pagutan-pagutan merah. Dan dengan sisa-sisa tenaga mencoba merapikan sprei yang terasa lembab di tanganku. Mungkin karena lelahnya aku kembali terlelap dan terbangun hampir jam 10.00 pagi. Singkat kata hari itu kuselesaikan segala urusan di Medan. Rasanya tak ada hambatan dengan segala hal yang terjadi. Iva biasa-biasa saja tidak terlihat seperti curiga, bahkan wajah cerianya tampak sedih ketika pada hari ketiga aku terpaksa harus pamit untuk pulang. Ari mengantarku ke bandara dan sebelum aku naik ke pesawat sempat Ari mengucapkan terima kasih. Aku membalasnya dengan terima kasih juga sambil tak lupa tersenyum manis penuh arti.

Sampai tiga bulan setelah aku meninggalkan Medan, tiba-tiba Iva mengirimiku email yang menyentakku, isinya begini, "Rat, sebenarnya aku tidak ingin menyinggung-nyinggung soal ini tapi akhirnya agar kamu tahu terpaksa deh aku ungkapin. Tidak tahu aku harus mengucapkan terima kasih atau malah mencaci kamu. Kamu tega deh, di saat puncak kebahagianku kamu malah melakukannya dengan Ari. Aku tahu bukan kamu yang memulai, dan aku tahu sekali kamu tidak akan mau melakukannya jika tanpa sesuatu sebab. Sebenarnya aku kasihan juga sama Ari, bayangkan hampir dua bulan terakhir sebelum aku melahirkan, dia tidak pernah melakukannya, meskipun hanya sekedar masturbasi. Belum lagi ditambah dua bulan setelah aku melahirkan aku masih belum bisa melayaninya. Dan aku tidak menyalahkannya jika akhirnya dia memintamu melakukannya. Dan jika akhirnya kamu terpaksa melayaninya, kuucapkan terima kasih telah menggantikanku. Mungkin itu saja deh Rat, yang perlu untuk kamu ketahui. Aku tidak tahu harus bagaimana tapi sudah deh segalanya sudah terjadi, mohon jangan mengulanginya lagi ya! Please! Aku sudah omong-omong tentang ini sama Ari dan dia menangis habis-habisan menyesalinya. Oke, udahan dulu ya. Bales ya secepatnya!" Iva.
"NB: sedikit nakal, kok sekarang Ari jadi ganas gitu sih? Kalo ini karena kamu makasih ya! Terakhir, bagaimana dia melakukannya? Hi.. hi.. hi Jangan khawatir aku tetap sahabatmu."

Berhari-hari setelah itu aku kebingungan mempertimbangkan apa yang harus kulakukan terhadap ini, sampai akhirnya aku harus menjawab juga.

"Iva sayang, hanya maaf yang bisa aku mohonkan ke kamu. Aku tidak ingin membela diri, aku salah dan aku janjikan itu tidak akan terulang lagi. Jika ada yang bisa aku lakukan untuk menebusnya? Katakan saja kepadaku! Aku tidak punya lagi kata-kata apapun, jadi sekali lagi maaf ya!" Ratih
"NB: tentang yang ganas-ganas itu aku tidak tahu tanya aja sama dia, tapi kalo tentang pertanyaan yang kedua, jawabannya secara jujur ya iya. Mohon maaf sekali lagi!"

Email balasanku pagi itu terkirim, sorenya langsung dibalas dan isinya, "Ratih, Oke deh. Meskipun agak sakit, kita kubur jauh-jauh peristiwa itu. Kapan kamu menikah? Kabarin lho! Aku punya ide (agak liar), supaya setimpal, gimana kalo nanti pas kamu mengalami saat-saat yang sama kayak aku, boleh dong aku mbantuin Andy? He.. He.. He.. (gambar tengkorak lagi tertawa!)" Iva
Nah loh! Akhirnya memang begitu yang terjadi setahun kemudian, jadi kedudukanku dengan Iva menjadi 1-1.
Tamat

0 komentar:

Posting Komentar