Minggu, 01 Maret 2015

Akhirnya Kunikmati Pemerkosaan Itu

Sebut saja namaku Ani, wanita berusia 30 tahun dengan wajah cantik dan kulit kuning langsat. Aku berani bilang aku cantik karena banyak lelaki tergila-gila padaku sewaktu masih kuliah dulu. Mereka bilang aku mirip artis sinetron Bella Saphira atau Jihan Fahira.

Tapi kini aku tak lagi lajang, sejak selesai kuliah 5 tahun lalu, aku menikah dengan Mas Rudi, kakak kuliahku yang aku cintai. Saat ini kami hidup di kota M, dan Mas Rudi bekerja sebagai wartawan pada sebuah media cetak lokal di kota itu.

Kehidupan kami berjalan mulus hingga tahun keempat pernikahan, walaupun kami belum juga dikaruniai buah hati hasil perkawinan kami. Aku sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sambil menjaga kios serba ada yang setiap waktu semakin berkembang pesat. Intinya, kami sama-sama bahagia walaupun kadang merasa sepi juga tanpa hadirnya buah hati.

Tapi, sesuatu ternyata terjadi diluar perkiraan kami berdua. Profesi Mas Rudi sebagai wartawan mengharuskannya berhadapan dengan resiko yang rumit. Aku ingat betul saat itu suamiku berseteru dengan seorang pejabat yang kasus KKN nya dibongkar suamiku. Seminggu setelah berseteru, suamiku dianiaya belasan orang tak dikenal, beberapa saat setelah meninggalkan rumah.

Tak parah memang, tapi luka disekujur tubuh Mas Rudi ternyata berpengaruh pada kemampuan seksualnya. Ya, sejak penganiayaan itu, Mas Rudi selalu gagal melakukan tugasnya sebagai suami. Tadinya kami pikir itu akibat shok yang dialami karena penganiayaan, dan dokter yang menangani Mas Rudi pun berpikiran seperti itu. Tapi sudah hampir setahun berlalu, kondisi Mas Rudi tetap tak berubah, malah bisa dibilang semakin parah. Bahkan sekarang, Mas Rudi sudah mulai enggan mencoba melakukan tugasnya memberikan kebutuhan biologis padaku.

"Aku takut kamu malah kecewa sayang," katanya dengan tatap sedih suatu malam.

Sebagai istri, meskipun tersiksa, aku mencoba untuk tetap setia dan bertahan dengan keadaan itu. Walau terkadang timbul juga ketakutan kalau aku tak bakalan punya anak sampai tua nanti. Lambat tapi pasti, akhirnya aku dan Mas Rudi bisa menepis semua ketakutan itu, dan mulai tenggelam dengan kesibukan kami masing-masing.

Untuk menghilangkan rasa sepi kami, aku dan Mas Rudi mempekerjakan empat orang pembantu dirumah kami. Dua wanita, Ijah berusia 22 tahun, dan Minah berusia 34 tahun, kupekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dan penjaga kios serba ada. Sedangkan dua lelaki, Maman berusia 40 tahun, dan Jaka berusia 19 tahun, kupekerjakan sebagai tukang kebun dan penjaga kios serba ada pula. Untuk mereka pula, kami membuat dua buah kamar lagi, dan suasana rumah tak lagi sepi sejak mereka berempat turut tinggal di rumah kami sejak lima bulan lalu.

Malam itu entah apa yang ada dipikiran Mas Rudi. Yang pasti suamiku itu membawa belasan keping VCD porno dan mengajakku menikmati tontonan erotis itu bersama-sama. Waktu itu jam menunjuk angka 11.30 malam, dan kami berdua sudah berbaring di ranjang kamar, sementara adegan porno dilayar TV sudah mulai tayang.

Terlihat jelas bagaimana gadis Cina dalam VCD itu merintih dan mengerang ketika lidah lelaki cina pasangan mainnya menjilati bibir-bibir vaginanya, terlihat jelas juga bagaimana rintih kenikmatan keduanya ketika kelamin mereka bersatu dalam senggama. Tak bisa kupungkiri, aliran darahku cepat terpacu dan kehausanku akan kebutuhan itu semakin menjadi-jadi.

Mas Rudi masih terdiam di sampingku, namun mendadak tangannya mulai merayap dan meraba bagian tubuh sensitifku.

"Sayang, mungkin aku nggak bisa memberimu kepuasan seperti itu. Tapi aku akan berusaha membahagiakanmu," katanya sambil mulai menciumi sekujur tubuhku. Satu persatu pakaian kami terbuka hingga akhirnya kami benar-benar bugil.

Astaga, penis suamiku tetap saja layu meski adegan di TV sudah membakar nafsu kami berdua. Sebagai istri aku berinisiatif mengulum dan menjilati penis Mas Rudi yang layu, tapi tak juga ada perubahan sampai aku lelah sendiri.

Akhirnya Mas Rudi bangkit dan mengambil sesuatu dari balik lemari kami, penis karet dengan vibrator elektrik. Alat itu baru dibelinya, karena selama ini aku selalu menolak menggunakan alat bantu semacam itu. Aku selalu berpikir jika pakai alat itu sama saja aku melakukannya dengan orang lain, bukan dengan suamiku.

Tapi entahlah, malam itu aku benar-benar tak kuasa menahan birahiku. Mungkin akibat tontonan porno yang kami nikmati bersama itu.

"Ohh Mass ngghhss," aku mulai mendesis ketika Mas Rudi menyibak bibir vaginaku yang sudah banjir dengan penis buatan itu.

Aku tak lagi memperhatikan suamiku, dan mataku tertuju pada layar TV, sambil membayangkan akulah yang sedang disetubuhi pria di TV itu. Vibrator penis karet yang sudah sepenuhnya masuk keliang vaginaku dihidupkan Mas Rudi, getarannya mulai membuat menikmatan tersendiri di daerah klitorisku. Aku mengelinjang sambil merintih nikmat hingga akhirnya tiba pada puncak kenikmatan. Aku orgasme, orgasme semu oleh alat buatan pabrik. Malam itu aku bahagia, tetapi batinku menangis.

"Maafkan aku sayang," hanya itu yang terucap dari bibir Mas Rudi.
"Nggak apa Mas, aku sudah sangat puas kok," balasku sambil mengecupnya.

Sejak menikmati getaran asyik dari vibrator penis karet malam itu, sepertinya ada yang berubah pada diriku. Aku menjadi sangat agresif dan selalu ingin melakukan hubungan seksual dengan alat itu. Kadang kala, saat Mas Rudi sedang tak dirumah, aku melakukannya sendiri hingga mencapai puncak kenikmatanku. Aku tahu itu salah, tetapi aku tak bisa menolak keinginanku yang selalu menggebu untuk terpenuhi, sementara aku juga ingin tetap setia pada suamiku.

Siang itu pelanggan kios serba ada kami cukup banyak yang datang. Maklum tanggal muda biasanya pelanggan kios yang rata-rata pegawai negeri membeli kebutuhan sehari-hari di kios kami. Aku dan Ijah sibuk melayani pembeli, malah Minah yang seharusnya bekerja didapur ikut membantu kami. Jarak kios dan rumah kami hanya berselat tembok, tembok itu pun ada pintu khususnya yang menghubungkan kios dan rumah, jadi tidak sulit mondar-mandir kios-rumah atau sebaliknya rumah-kios.

"Si Jaka kemana Jah? kok nggak kelihatan dari tadi?," tanyaku pada Ijah sambil menghitung bayaran pelanggan.
"Nggak tahu tuh bu, tadi sih katanya mules, dia lagi mencret bu, sakit perut," jawab Ijah.
"Sakit kok nggak bilang?, ya sudah kamu jaga dulu kiosnya sama Minah ya, Ibu mau lihat Jaka," setelah kios sepi, aku pun meninggalkan Ijah dan Minah untuk melihat Jaka.

Kamar pembantuku tepat di belakang kios, satu kamar Ijah dan Minah, satu lagi kamar Jaka dan Maman. Aku langsung menuju kamar Jaka, dan saat aku buka pintunya terlihat Jaka sedang terbaring dengan wajah pucat dan meringis-ringis sambil memegangi perutnya seperti menahan sakit.

"Kamu sakit Jaka?, ke Puskesmas saja ya mumpung masih buka," kataku terus masuk kedalam kamar pembantuku.
"Eh.. ibu.., nggak apa kok bu, cuma sakit perut biasa. Tadi juga sudah minum obat diberi Ijah," Jaka berkata sambil bangkit dan duduk diranjangnya.

Jaka adalah pemuda sopan dari kampung yang sama dengan tiga pembantuku lainnya. Mereka kuambil dari kampungku juga, kebetulan keluarga kami sudah saling mengenal dikampung. Aku juga sebenarnya sama seperti mereka, orang kampung. Hanya saja aku agak beruntung kawin dengan Mas Rudi, anak orang kaya yang juga berprofesi matang.

Aku lalu duduk ditepi ranjang Jaka sambil mengusap dahinya.
"Mana yang sakit Jak?" tanyaku seraya mengusap perutnya.
"Sudah baikan kok bu, cuma masih lemas," jawabnya.

Rasa peduliku pada Jaka mungkin suatu kesalahan, soalnya begitu mengusap perut Jaka, aku justru menatap suatu bagian di bawah perut Jaka. Sebuah benda yang tersembul dibalik celana karet komprangnya, astaga milik Jaka yang kusadari tentu tak bermasalah seperti milik suamiku. Aku jadi jengah dan menarik tanganku, lalu meninggalkan Jaka sendirian di kamarnya.

Malamnya, sekitar jam 09.00 setelah makan malam, aku kembali ke kamar para pembantu untuk melihat keadaan Jaka. Terus terang aku sangat takut kalau pembantuku ada yang sakit, apalagi bagiku mereka sudah seperti kerabat sendiri.

Tapi malam itu aku jadi kaget dan tersentak. Aku mendapati bukan Minah dan Ijah atau Jaka dan Maman yang sekamar. Tetapi Jaka sekamar dengan Ijah dan Maman dengan Minah. Rupanya, mereka keblinger dan melanggar aturan yang kutetapkan.

Hal itu aku tahu ketika dekat kamar Minah, aku mendengar suara rintih dan desah khas orang yang sedang bersetubuh. Ketika kuintip ternyata Maman yang duda sedang menindih Minah yang janda.

Aku lalu beralih menintip kamar Jaka lewat celah jendela. Astaga, di kamar itu aku melihat Ijah sudah setengah telanjang dan Jaka sedang mengulum buah dada Ijah. Aku hendak marah dan menghardik mereka, tetapi tak tahu kenapa aku malah seperti terpaku dengan adegan yang kusaksikan itu.

"Iiihh gelii Jak.., nakal kamu ya," ucapan genit Ijah terdengar jelas olehku saat Jaka mulai menjilati bagian perutnya.
"Geli dikit nggak apa kan, Kang Maman dan Bi Minah juga begitu kok caranya," balas Jaka.

Keduanya pun mulai melepas pakaiannya hingga bugil. Sementara aku semakin terpaku melihat adegan mereka dari balik celah jendela. Jaka yang bertubuh kurus dan agak pendek rupanya memiliki penis yang lumayan besar, setidaknya lebih besar dari milik suamiku yang layu itu.
Ijah yang sudah telanjang bulat berbaring diranjang dengan posisi kaki menjuntai kelantai, sedangkan Jaka mengambil posisi berdiri. Jaka kemudian mengangkat dua kaki Ijah sehingga posisi Ijah mengangkang, lalu perlahan Jaka memasukan penisnya ke dalam vagina Ijah.

"Nghhss Jak.. ohh," Ijah mulai mendesis dan mengerang ketika Jaka memompa tubuhnya.

Keduanya lalu tenggelam dalam nafsu birahi, sementara aku yang sudah tak kuat lagi segera berlari ke kamarku dan memuaskan diri dengan penis karet sialan itu. Sampai akhirnya Mas Rudi pulang larut malam dan kembali memuaskanku dengan alat sialan itu lagi.

Sejak kejadian itu, aku semakin tak habis pikir dengan kelakuan para pembantuku itu. Tapi lama-lama aku pikir wajar saja, karena Maman memang duda dan Minah janda, lalu Jaka dan Ijah mungkin saja sudah menjalin cinta sejak di kampung dulu. Apalagi pengawasan terhadap mereka di rumahku tak terlalu ketat. Namun tak bisa kupungkiri juga, sejak melihat kejadian itu, aku semakin merasakan haus untuk melakukan seks. Apa boleh buat keinginan itu harus kuredam dengan penis karet lagi, dan lagi.

Hari itu Mas Rudi pamit akan liputan luar kota selama tiga hari, dan tiga hari itu pula aku harus kesepian di rumahku. Hari pertama berjalan seperti biasa meski tanpa Mas Rudi. Tapi hari kedua sejak pagi aku merasa kurang enak badan, sehingga kios hanya dijaga para pembantuku.

"Bu.., kalau mau biar saya pijatin supaya enak badannya," suara Ijah menawariku usai makan malam.

Malam itu sengaja kuajak empat pembantuku itu makan malam bersama di rumahku dan mereka juga bebas nonton TV dirumah majikannya ini.

"Iya deh Jah, pijitin aku dikamar ya..," ujarku sambil berjalan menuju kamar.

Sementara Minah, Maman, dan Jaka masih nonton TV diruang tengah. Sampai di kamarku, Ijah langsung memijiti seluruh badanku dari kaki sampai kepala. Pijitan Ijah memang enak sampai-sampai aku terlelap dan tidur.

Aku tak tahu berapa lama aku sempat tertidur, tetapi saat bangun tubuhku rasanya sudah segar kembali. Hanya saja, astaga, aku dalam keadaan terikat. Kedua tangan dan kakiku terikat pada tiap sudut ranjang, dan mulutku tertutup erat plester lakban. Hanya mataku yang terbuka dan melihat kamar dalam keadaan terang, dan aku sendiri dalam keadaan bugil tanpa sehelai benang pun.

"Selamat malam nyonya sayang," suara Maman tiba-tiba mengejutkanku.

Lelaki bertubuh gempal itu sudah berdiri tepat di depanku di ranjang bagian kakiku. Matanya berbinar liar menatap kearah tubuhku yang terikat, terlentang, dan telanjang. Sialan, apa mau Maman ini, aku mau berteriak tapi mulutku tertutup lakban.

"Tenang saja nyonya, malam ini akulah yang akan memuaskanmu. Tuankan sedang tidak ada," Maman masih berdiri di hadapanku sambil melepaskan pakaiannya sendiri.

Tubuh Maman masih terlihat atletis di usia 40 tahun, dengan bidang dada dan otot perut kotak-kotak menandakan tenaga yang kuat, apalagi kulitnya yang agak hitam membuat kesan kuat jelas terlihat.

Maman kini tinggal pakai CD saja, dan perlahan bergerak kearahku yang terlentang diranjang. Aku tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi, Maman akan menyetubuhiku, memperkosaku, tapi juga memberi kepuasan yang selam ini aku cari.

"Eemphh.. mmffhh," aku berusaha bergerak berontak ketika Maman mulai menyentuh tubuhku.

Tapi percuma, ikatan tali jemuran pada kaki dan tanganku sangat kuat, Maman akhirnya leluasa meraba-raba tubuhku.

"Tenang nyonya, sabar ya.., wah mulus sekali nyonya ini," Maman terus meraba-raba dan mempermainkan jari kasarnya di sekujur tubuhku.

Aku hanya bisa pasrah ketika Maman mulai berani menciumi puting susuku dan menghisap-isapnya. Kumis tebal dan mulut monyongnya seperti hendak melahap habis susu ukuran 36B milikku. Aku pun tak kuasa berontak ketika jeri-jari kasar Maman menyentuh bibir-bibir vaginaku, dan kurasakan gelora birahiku mulai menjalar ketika jari-jari itu mulai menelusup pada celah bibir vaginaku dan memainkan, menekan-nekan klitorisku.

"Mmffhh..," meski aku mulai menikmati sentuhan nakal Maman, tetapi aku harus tunjukan kalau aku tak suka diperlakukan begitu, setidaknya untuk mempertahankan martabatku sebagai majikannya.

Aku mulai berontak lagi, tapi percuma. Kini Maman bukan hanya bermain jari, bibirnya mulai turun kearah perut dan terus keselangkanganku yang sudah basah. Oh.., tidak, bibir Maman mulai menyentuh bibir vaginaku. Kumisnya yang tebal sengaja digesek pada klotorisku, membuat aku menggelinjang. Setiap gerakan perlawananku membuat Maman semakin bernafsu menjilati vaginaku, dan hal itu membuat kenikmatan yang tercipta semakin tak bisa kuelakan. Akhirnya gerakan pinggulku semakin seirama dengan jilatan kasan lidah dan kumis Maman.

"Gimana nyonya? Enak nggak?," tanya Maman sambil menatapku.

Aku tentu saja melotot kepadanya. Tetapi Maman nampaknya sudah mengerti ciri wanita dilanda birahi, sebab meski mataku melotot marah, vaginaku yang sudah basah tak bisa menyembunyikan ciri nafsuku. Maman melanjutkan aktifitasnya menjilati vaginaku. Desakan-desakan bibir Maman dibagian vital milikku membuat rasa nikmat tersendiri menjalar dan mengumpul dibagian vagina, pinggul, pantat, hingga ujung kaki dan ujun rambutku. Mamang semakin teratur menjilati klitorisku, sampai akhirnya aku tak bisa membendung desakan dari dalam vaginaku.

"Mmmffhhpp..," kali ini aku jebol, aku orgasme dengan perlakuan Maman itu.

Maman menghentikan jilatannya, dan menatap wajahku, ia tahu aku sudah sampai puncak pertama. Maman berdiri lagi dan menanggalkan CD kusam miliknya. Kini dihadapanku berdiri seorang lelaki dengan penis yang normal dan ereksi total, hal yang sudah setahun lebih tak pernah kulihat. Penis milik pembantuku itu siap menghujani vaginaku dengan kepuasan.

"Nyonya.., sudah kepalang basah. Saya tahu nyonya juga senang kok, buktinya sampai keluar airnya. Jangan berteriak ya nyah," ujar Maman sambil melepas plester lakban dari mulut.

Kini plester sudah terlepas dan mulutku bebas bersuara, tapi aku tak berkata-kata apalagi berteriak. Tubuhku lemas dan tiap jengkalnya merasa rindu sentuhan Maman seperti tadi.

"Ohh.., uhh.. adduuhh..," hanya itu yang keluar dari mulutku ketika Maman kembali menjilati vaginaku.

Tangan Maman yang cekatan meremas-remas susuku, pinggulku, dan belahan pantatku diremas gemas. Terus terang saat itu aku sudah tak sabar menunggu hujaman penis Maman yang tegar ke vaginaku, aku rindu disetubuhi lelaki, bukan sekedar vibrator sialan itu.

Maman beralih posisi mengambil posisi berlutut tepat di selangkanganku. Dipegangnya penisnya dan diarahkan ke vaginaku yang sudah benar-benar kuyup. Maman menggesek-gesekkan penisnya dipermukaan vaginaku, oh.., aku benar-benar tak sabar menunggu senjata Maman itu.

"Uhh Man.. ampunhh.. aku nyerah.. mmffhh," aku akhirnya mengucapkan itu dengan mata terpejam.

Kupikir mau menolak pun percuma karena posisiku sulit, lagipula aku ingin agar dosa itu segera berlalu dan selesai. Ucapanku membuat angin segar bagi Maman, sebelum menyetubuhiku penuh, Maman membuka ikatan tali di kaki dan tanganku.

"Ayo sayang, sekarang aku puaskan kamu cantik," celoteh Maman sambil kembali menindih tubuh bebasku.

Dalam posisi itu Maman masih terus memancing nafsuku yang sudah sangat puncak, penisnya hanya digesek ujungnya saja pada vaginaku membuat aku yang mengejar dengan pinggul naik turun. Setelah tak mampu menahan nafsu yang sama, Maman akhirnya menghujamkan utuh penisnya kedalam vaginaku.

"Ouhhggff.. ah Kang Maman..," bibirku mulai menceracau saat Maman memompakan penisnya maju mundur dalam vaginaku.

Tangan dan kakiku yang sudah lepas dari ikatan bukannya mendorong tubuh Maman menjauh dariku, tetapi justru memeluk dan meremas remas dada kekar Maman. Penis Maman terasa memenuhi liang senggamaku dan menciptakan rasa nikmat yang selama ini tak lagi kurasakan dari Mas Rudi.

"Ohh nyonya, uennaakk sekali vaginamu nyahh.. oh," Maman menggenjot tubuhku dengan irama yang cepat dan tetap, dan aku mengimbangi gerakan Maman. Kini aku total melayani kebutuhan seks Maman sekaligus meraih kebutuhan seksku.

Sampai menit kedua puluh permainan kami, aku merasakan seluruh sarafku mengumpul disatu titik antara bibir vagina dengan klitorisku. Lalu beberapa detik kemudian seluruh otot dibagian itu terasa mengejang.

"Auuhhff.. mmffhh, enghh.. ohh," kurasakan kontraksi yang sangat sensasional pada vaginaku.
"Iyyaahh.. nyaahh.. ohh nyaahh," Maman menggeram hebat dengan tubuh kejang diatas tubuhku, kurasakan semburan spermanya masuk hingga kedinding rahimku.

Maman rebah diatas tubuhku. Keringat kami bercampur baur dan kedutan-kedutan lembut kelamin kami masih terasa sesekali, sampai akhirnya Maman rebah disisi kananku.
Ya Tuhan, aku sudah menodai kepercayaan Mas Rudi. Aku menitikan air mata usai meraih kepuasanku dari Maman.

"Maafkan saya nyonya, saya khilaf waktu lihat nyonya tidur dan pintu tak ditutup," Maman membuka bicara.

Dari situ aku tahu, sehabis dipijat Ijah, aku tertidur dan Ijah tak menutup pintu kamarku. Setelah larut saat Ijah, Minah dan Jaka tidur, Maman hendak menguncikan pintu rumah tetapi batal karena melihat posisi tidurku dengan daster tersingkap. Maman jadi khilaf dan berniat memperkosaku.

"Kalau saya mau dipecat, saya hanya minta uang saku untuk pulang kampung nyah, saya nggak minta apa-apa lagi," tutur Maman mengiba.
"Kamu nggak salah Man, aku yang salah aku juga khilaf. Ya sudah kamu pindah kamar sana dan jangan bilang siapa-siapa ya, anggap saja tadi itu hadiah dariku buat kamu," kataku sambil menyuruh Maman pergi dari kamarku.

Hari ketiga saat Mas Rudi liputan luar kota, aku jadi termenung sendiri dalam kamar sejak pagi. Urusan kios aku percayakan sepenuhnya pada pembantuku, sementara aku hanya memikirkan kejadian malam kemarin dengan Maman. Kupikir aku diperkosa dan diinjak-injak harga diriku, tapi kupikir lagi aku pun menikmatinya, malah harus berterima kasih pada Maman yang telah mengobati rinduku selama ini untuk bersenggama dengan lelaki sebenarnya.

Sejak kejadian dengan Maman itu, aku seperti menemukan kehidupan baru. Jika aku butuh kepuasan semacam itu aku akan memanggil Maman melayaniku. Tentu saja semua tanpa sepengetahuan Mas Rudi, suamiku tercinta.

Tiga bulan sejak kerap melakukan hubungan gelap dengan Maman, tukang kebunku, aku merasa irama hidupku menjadi normal. Walau aku sadar telah menodai kepercayaan Mas Rudi suamiku, tapi aku juga kan wanita normal yang butuh kepuasan yang tak mungkin kudapat dari Mas Rudi lagi.

Sore itu hujan turun di kota M, sementara aku, Ijah, dan Jaka masih melayani pelanggan kios serba ada milikku. Mas Rudi belum pulang, biasanya pulang larut malam, Minah sibuk masak di dapur, dan Maman terakhir tadi kulihat membersihkan taman dibelakang rumahku.

"Aduh.. Jah, lanjutin dulu ya kerjaannya, saya mau lihat Minah di dapur. Tadi lupa bapak minta buatin telur asin," aku mendadak ingat Mas Rudi memesan telur asin kesukaannya untuk makan malam.

Kutinggalkan Ijah dan Jaka melayani pelanggan kiosku, dan aku berlari kecil melalui pintu pembatas kios-rumah menuju dapurku.

"Minn.. Minaahh..," sampai di dapur Minah yang kucari sudah tak ada, hanya ada sayur lodeh yang mendidih diatas kompor nyala.
"Astaga Minah kok ceroboh sih.., kemana lagi si Minah uhh," segera kuangkat panci berisi lodeh, kompor kupadamkan dan selanjutnya mencari Minah.

Tadinya kupikir Minah lagi pipis atau buang air besar di WC belakang, jadi aku melangkah kesana. Tapi belum sampai ke WC pembantu itu, aku dengar suara rintihan khas orang sedang bersenggama. Ups.., langkah kuhentikan di tepi letukan tembok, kusaksikan pemandangan yang membuat darahku berdesir.

Maman sedang asyik menggenjot pantatnya dengan penis besar yang tertancap di vagina Minah, Maman berdiri, sedangkan Minah nungging berpegang pada pagar kayu di taman belakang rumahku. Mereka tampak buru-buru dan tidak telanjang, daster Minah diangkat naik dan CDnya diturunkan sebatas lutut, dan celana Maman merosot sebatas lutut pula, tapi baju mereka tetap terpasang. Meski hujan cukup deras mereka tidak basah karena di taman belakang rumahku Mas Rudi sengaja membuat tempat duduk teduh untuk menghabiskan jika ada waktu santai kami.

"Ohh Kaang.. enak.. aahhsst," Minah menjerit tertahan, orgasme sampai pinggulnya bergetar hebat.
"Ouhh iyaahh Minnhh.. ssiip," tubuh Maman pun mengejang menyusul orgasme Minah, tentu sperma Maman banyak menyiram vagina Minah, pikirku.

Sialan, rupanya mereka curi kesempatan karena hujan deras. Ehm, mungkin enak juga ya bersenggama saat hujan deras. Sebelum mereka merapikan pakaiannya, aku langsung kembali ke dapur dan duduk di kursi dapur.

"Ehh, Ibu kok disini?, ehh anu Bu.., saya habis pipis.., tapi sayurnya nggak hangus kan Bu?," Minah gugup melihatku ada di dapur.
"Iya.. iya, tapi lain kali jangan ceroboh dong, untung saya ke dapur. Kalau nggak kan bisa kebakaran rumah ini," kataku pada Minah, Minah manggut-manggut.

Malamnya, hujan masih lebat. Tiba tiba telepon berdering.

"Halo sayang, maaf ya.. aku nggak bisa pulang. Nginep di kantor ada kerjaan tambahan yang harus kelar malam ini," begitu inti bicara Mas Rudi saat telepon kuangkat.

Aneh, harusnya sebagai istri aku kecewa suami nggak pulang. Tapi kok aku malah senang ya? Malah pikiranku ingin segera menemui Maman dan melampiaskan kerinduanku pada penisnya yang hitam besar itu.

Jam 10 malam, aku sengaja mengenakan daster tipis tanpa CD dan bra, menikmati acara hiburan TV di ruang tengah rumahku, sejuk segar rasanya. Hujan masih lebat.

"Permisi Bu, mau ikutan nonton," suara Jaka membuatku sedikit terkejut.
"Eh.. kamu Jak, si Ijah mana?," aku duduk diatas sofa, Jaka ambil duduk di lantai semeter di depanku.
"Anu Bu, sudah tidur, kecapean mungkin. Semua sudah tidur, saya aja belum ngantuk Bu"
"Wah.., padahal saya mau dipijitin, cape juga nih, pegel," aku memijit-mijit sendiri kakiku, tubuhku merunduk.

Jaka memperhatikanku tak berkedip, dasterku terkuak dalam posisi itu, buah dadaku pasti terlihat Jaka.

"Kamu bisa mijitin Jak?," pertanyaanku membuat Jaka kaget, tapi tetap menatapku.
"Ah Ibu, saya nggak berani Bu, nanti dikira usil," Jaka malu, pemuda itu memang selalu pemalu, tapi aku tahu selama ini dia sering curi pandang menikmati indah tubuhku.
"Kok gitu? kalau bisa tolong saya dipijitin ya Jak. Disini aja disofa biar kamu nggak dibilang usil," aku rebah dengan posisi menelungkup.

Jaka ragu-ragu tapi kemudian mendekatiku. Sofa ruang tengah agak lebar ukurannya, jadi Jaka kusuruh duduk di tepi sofa dan memijitku.

"Permisi loh Bu," Jaka mulai memijiti betisku, tangannya dingin membuat pijitannya terasa asyik di betisku.
"Hmmh, enak juga tanganmu ya Jak, belajar mijit dimana sih,"
"Nggak kok Bu, cuma biasa mijitin Kang Maman aja kalau dia cape,"
"Agak naik dong Jak, pahanya agak pegel," perintahku disambut Jaka semangat. Paha dan betisku dipijit naik turun, kanan kiri.

Hujan semakin lebat diluar, pijitan Jaka mulai asyik kurasakan. Kadang tangannya terasa mengelus dan membelai betis dan pahaku, bukan lagi memijit. Tapi kubiarkan saja aksinya itu, kunikmati saja tangan nakalnya itu.

"Badannya mau dipijit juga Bu?,"
"Iya dong Jak, sekarang punggungku pijitin gih,"

Jaka memijit punggungku masih terhalang daster, tapi Jaka tahu, aku tak pakai bra karena tali bra tak ada di punggungku.

"Sebentar Jak, biar gampang kamu mijit," aku bangun dan menurunkan dasterku sebatas dada, menutupi susuku saja, lalu rebah lagi tengkurap. Kini tangan Jaka memijit punggungku dan menyentuh langsung kulit mulusku, kadang tangannya mengambil kesempatan ke sisi tubuh menyentuh samping pangkal susuku.
"Ohh di situ Jak, pegel tuh, ouhh asshh.. enak Jak," suaraku sengaja mendesis, nampaknya Jaka sudah dibuai nafsu. Pijitannya sudah berubah elusan dan remasan dipunggungku, kini malah turun ke pinggang, menyentuh pantatku, aku yakin Jaka pun tahu aku tak pakai CD.
"Jak?,"
"Ehh.. saya Bu," suara Jaka agak serak menahan nafsunya.
"Pijitin terus sampai saya tidur ya. Kalau saya ketiduran nanti kamu kunci pintu belakang kalau sudah nonton TV ya, biar saya tidur disini," aku sengaja bicara sambil terpejam, Jaka mengiraku sudah ngantuk benar.

Beberapa menit setelah itu aku sengaja tak bersuara lagi dengan mata terpejam seperti tidur. Jaka masih mijitin aku, tapi sekarang sepenuhnya hanya meremas dan meraba-raba tubuhku. Sekejap aku balikkan badan dan masih pura-pura tertidur, posisiku jadi menghadap atas, daster bagian depanku turun sampai separuh susuku nampak jelas. Jaka kaget, kulihat dari sela mata pejamku, ia berhenti mijit tapi tetap duduk di sisi sofa dan memandangi tubuhku. Aku tahu Jaka tersangsang dengan posisi tubuhku yang menantang.

Sebentar saja Jaka mematung, setelah itu kurasakan tangannya mengelus-elus pangkal susuku yang tersibak. Pelan-pelan sekali, dia takut aku bangun tuh. Setelah yakin aku tidur Jaka lebih berani menyibak dasterku lebih terbuka sampai susuku bebas tak terhalang.

"Ohh.. cantik sekali kamu Bu..," Jaka berbisik sendiri sambil mengelus-elus susuku.
"Ahhss Mas Rud..," aku pura-pura ngigau.
"Iya sayang.. ini Mas Rudi," Jaka konyol menjawab ngigauku, pasti ia mulai berpikir ini kesempatan emas.

Benar saja dugaanku, setelah igauan itu didengar, Jaka tak ragu lagi melancarkan serangannya. Tangannya yang kasar mulai meremas-remas susuku, bibirnya juga ikut terjun mencium dan menjilati puting susuku.

"Ouuhh Mass.., ngghh.. gelii Mas aahhff..," masih pura pura tidur aku merangkul tubuh kurus Jaka, ia semakin semangat menciumi susuku. Kini tangan Jaka sudah merayap ke bawah, pahaku diusap-usapnya.
Vaginaku mulai membasah, sentuhan jemari Jaka sudah berani nakal membelai-belai bibir vaginaku. Udara dingin dan suara hujan membuat nafsuku melambung, Jaka pun kian girang menikmati tubuh mulus majikannya ini. Tiba-tiba Jaka menghentikan aktifitasnya, kulirik dari sela mataku, Jaka mempreteli pakaiannya sendiri sampai bugil. Wah walau bertubuh pendek dan kurus, tapi penis Jaka lumayan juga, lebih panjang dari punya Maman walau pun lebih langsing.

Aku masih pura-pura tidur, Jaka mengangkat dasterku dan bebas melototi vaginaku yang memang tak ber CD. Dielus lagi vaginaku dengan jemarinya, sambil dia naik ke sofa tempatku berbaring.

"Duhhss, Mass.. Rud, cepeetaan dong.. Annii nggak tahaan.. aahhmmpp," belum selesai ceracauku, Jaka sudah menyumpal bibirku dengan mulutnya. Disedotnya seluruh bibirku dengan nafsu, dan penisnya yang tegang mulai amblas dalam vaginaku. Bleess.. jleepp.., Jaka mulai menggoyangku dengan sangat nafsunya.
"Eiihh.. huuss.. eenaakk sekallii Ani memekmu enaak..," Jaka terus menggenjotku.
"Aahh.. ohh..," aku mulai merasa nikmat yang sama menjalari tubuhku, pinggulku kubuat seirama kocokan penis Jaka.

Tapi rupanya gerakanku itu salah, karena membuat nafsu Jaka tak terkendali. Baru lima menit gerakan pinggul kulakukan, tubuh Jaka sudah mengejang kaku diatas tubuhku.

"Ahh.. uueennaakk.. sayaang," crot.. crot.. Jaka orgasme karena nafsu yang sangat tinggi akibat goyangan dan suara erotisku. Terang saja aku kecewa, aku belum lagi apa-apa, lantas aku bangkit dan membuka mata melotot.
"Jaka.., apa-apaan kamu ini hah..," sergahku pura-pura marah.

Belum sempat aku lanjutkan kata-kataku, Jaka mengeluarkan sebilah pisau dari bajunya di lantai.

"Jangan berteriak Bu," pisau tajam itu ditodongkan ke arahku, aku takut.
"Sekarang diam, dan Ibu harus nungging.. ayo nungging. Disini Bu ceppaat," teriak Jaka sambil menunjuk sisi sofa.

Hujan masih lebat, aku terpaksa nungging dengan dua tangan menekan pinggir Sofa, Jaka berdiri tepat dibelakangku.

"Nah.., akan kubuat Ibu lebih enak dari yang tadi. Anggap saja aku suamimu Bu," Jaka membelai-belai bokongku, lalu jongkok tepat di belahan bokongku. Tangannya menyibak bongkahan bokongku sehingga vaginaku jelas terlihat olehnya, setelah itu, astaga, Jaka mulai menjilati vaginaku.
"Ahh.. sstt Jakk.. aouhh gelii Jak," aku tak bisa lagi berpura-pura, jilatan Jaka dalam posisiku nungging begitu terasa nikmat sekali.

Mendengar desahku Jaka makin berani, kini pisau ditangannya sudah dilepas dan ia kembali menjilati vitalku itu. Cukup lama Jaka menciumi dan menjilati vaginaku, sampai kurasa sesuatu mulai mengumpul di paha, pantat dan bibir vaginaku itu. Aku hampir orgasme ketika Jaka menghentikan jilatannya. Tadinya aku mau marah lagi karena orgasmeku batal, tapi setelah jilatan itu lepas, ternyata penis Jaka sudah kembali tegang dan langsung menusuk ke liang nikmatku.

"Ahh, enaak ya Buu," Jaka menggenjot tubuhku dari belakang, maju mundur.

Aku terbuai, posisiku hampir kalah, kedutan kecil mulai tercipta di dinding vaginaku. Jaka mempercepat goyangnya, hingga sepuluh menit kemudian aku semakin merasa mau jebol. Posisi nunggingku sudah utuh, tangan tak lagi menyangga tubuh. Kini aku seperti tiarap di Sofa dengan kaki berlutut di lantai, Jaka ikut jongkok, aku mirip betina yang sedang di setubuhi jantannya.

"Ouughh.. Jakk.., akuu.. ammpuun..," pertahananku jebol, kurasakan semua sendiku ngilu, dan kedutan di dinding vaginaku menjepit-jepit penis Jaka yang masih aktif.

Tapi tak lama berselang, Jaka pun sampai puncaknya, dan tegang kaku di atas punggungku.

"Ahh Nyah.. ohh," Jaka masih menidihku, dan posisi kami masih seperti pasangan jantan dan betina yang sedang senggama.
Kurasakan kedutan kelamin kami berpadu sampai akhirnya hilang perlahan, aku ngantuk dan terpejam, aku tertidur pulas dibuai kenikmatan dari penis pembantuku.

Paginya aku terbangun saat Minah menggoyang-goyang bahuku.

"Nyah bangun Nyah.., kok Nyonya telanjang di luar begini sih?," suara Minah bercampur heran melihatku dalam kondisi bugil tertidur di sofa tengah.
"Ehh Min, oh.. aku ketiduran semalam nih," aku segera bangkit dan beranjak ke kamarku sambil pakai daster kembali, Jaka sudah tak ada entah di mana dia.

Siangnya aku baru tahu dari Ijah kalau Jaka kabur. Dia cuma bilang ke Ijah kalau dia punya masalah sama preman di pasar tempat aku membeli barang dagangan untuk kios milikku. Aku tahu Jaka takut kejadian malam tadi sampai terdengar Mas Rudi, ia pikir ia telah memperkosaku. Kasihan juga Jaka, seharusnya aku jujur kalau aku pun ingin begituan, lagipula aku juga yang memancing birahinya. Tapi begitulah, aku juga gengsi sebagai majikan relah disetubuhi pembantu. Belum lagi selesai memikirkan Jaka yang kabur, sorenya Maman dan Minah menemuiku. Mas Rudi pulang cepat sore itu, dan mereka berdua, Maman dan Minah berbicara dengan kami di ruang tamu.

"Anu Pak Rudi, kami salah pak.., anu pak," Maman gagap.
"Ada apa Pak Maman bicara saja," dorong Mas Rudi.

Tadinya aku yang gugup jangan-jangan Maman mau bongkar rahasia seks kami selama ini, tapi setelah itu aku lega.

"Kami mau pulang kampung pak, si Minah hamil, kami harus nikah," pengakuan Maman membuatku agak terkejut sekaligus kecewa, apalagi Jaka sudah pergi juga. Terbayang olehku hari-hari yang bakalan sepi di saat gairah seksku sedang tinggi-tingginya akhir-akhir ini.

Singkatnya sore itu Mas Rudi mengijinkan mereka pulang kampung sekaligus membayar pesangon kerja mereka. Sejak saat itu di rumah hanya ada aku, Ijah dan Mas Rudi yang selalu pulang larut malam. Meski dua pembantu lelaki itu sudah tiada tapi kenangan bersama mereka selalu kukenang, terutama saat aku birahi sendiri dalam sepi, bersama penis Mas Rudi yang tak bisa berdiri lagi.

Sejak kepergian Jaka, Maman serta Minah, tiga pembantuku, aku jadi kesepian dan hanya Ijah satu-satunya teman setiaku dirumah. Tapi kulalui saja kehidupan itu dengan sibukan diri mengurus kios kami, tentu saja dibantu Ijah.

Siang itu tak seperti biasanya Mas Rudi pulang ke rumah, tapi ia tidak sendiri. Bersama Mas Rudi turun dari mobil seorang lelaki bertampang bule.

"Ani.., kenalkan ini Bruce, teman kameraman TV Australia," kata Mas Rudi menunjuk lelaki di sampingnya, kami pun bersalaman.

Setelah kubuatkan minuman dingin dan duduk bertiga diruang tamu, Mas Rudi mulai menceritakan siapa Bruce. Bruce adalah pria asal Australia berusia 28 tahun yang sudah tiga tahun ini tinggal di Jakarta. Bruce bekerja di sebuah stasiun TV Australia sebagai kameramen untuk reporter yang ada di Jakarta. Kebetulan Bruce sudah seminggu ini ada di kota M untuk meliput sebuah event internasional yang diselenggarakan di kota M.

"Bruce akan menginap disini beberapa hari, pingin lihat-lihat kota M, kasihan kalau harus nginap di hotel. Toh aku juga pernah liputan bareng dia di Jakarta," Mas Rudi menjelaskan. Singkatnya untuk beberapa hari Bruce menginap di rumah kami di Kota M.

Sore itu, hari ketiga Bruce menginap di rumah kami. Ijah masih sibuk ngurus pelanggan kios, sedangkan Mas Rudi baru saja pergi ke redaksinya. Bruce bertubuh sangat atletis, tingginya mencapai 187 cm dengan postur yang ideal. Apalagi wajahnya yang mirip Antonio Banderas itu pasti membuat semua wanita tergila-gila padanya.

Bruce berolahraga ringan di taman belakang rumahku. Menggunakan kaos ketat dan celana pendek ketat pula, lekuk tubuh atletis Bruce makin mempesona dihiasi titik titik keringat yang membasahi.

"Istirahat dulu Bruce.., ini kubuatkan es limon untukmu," aku meletakkan segelas es limon dimeja dan mengambil duduk di kursi taman. Bruce menatapku dan tersenyum, lalu menghampiriku duduk bersama.
"Kamu baik sekali Ani.., pasti Rudi bahagia punya istri sepertimu," Bruce memujiku tulus.
"Makasih Bruce, kamu ini ada saja,"
"Aku juga punya istri, dan rindu juga karena dia di Australia," Bruce bercerita.

Rupanya selama tiga tahun di Jakarta, Bruce hanya sesekali pulang ke Australia, atau istrinya yang ke Jakarta.

"Kamu bisa tahan ya Bruce," aku keceplosan menanyakan itu, kesalahanku memang.
"Tahan apa Ani?,"
"Eh.. Maksudku tahan nggak ketemu istri," aku tertunduk malu.
"Kalau maksudmu itu aku sih tahan, tapi kalau masalah seks.. Aku menghabiskan waktu olahraga saja," katanya.

Kami pun terlibat obrolan seputar rumah tangga kami. Entah kenapa akhirnya kisahku bersama Mas Rudi kuceritakan pula, bagaimana kecelakaan itu, bagaimana Mas Rudi sudah tak mampu menjalani tugasnya sebagai suami, dan bagaimana sampai kini kami tak kunjung punya anak.

Malam mulai merayap, kami sudah selesai makan malam tapi Mas Rudi belum juga pulang. Sampai akhirnya jam 9 malam Mas Rudi mengirim SMS yang intinya ia nggak bisa pulang karena ada berita yang harus dikejar dan ditunggu sampai malam. Bruce sudah masuk ke kamar tidur yang kami siapkan untuknya, sedangkan aku sudah berbaring di kamar tidurku, dan siap untuk tidur.

Malam itu akhirnya Mas Rudi pulang juga, dan langsung berbaring disampingku. Seperti biasa kalau mau melampiaskan nafsunya, Mas Rudi mulai menciumiku. Aku membiarkan saja ketika suamiku melepaskan CD yang kupakai, Bra yang kukenakan pun ditanggalkan menyisakan daster merah muda yang masih melekat ditubuhku.

"Ahhmm.. Mas," aku bersuara manja tetap terpejam.

Mas Rudi semakin aktif menciumiku. Dasterku dibuka bagian atas dan susuku mulai diisap-isap putingnya, sementara tangannya mulai aktif menjelajahi bagian bawahku.
Sentuhan dan isapan Mas Rudi benar-benar lain malam ini, membuat birahiku seketika melonjak naik. Apalagi ketika bibirnya mulai turun dan menciumi bagian vitalku, aku sampai basah kuyup dibuat kenikmatan. Tiba-tiba Mas Rudi mengubah posisiku, dibuatnya aku menghadap kekanan dengan posisi membelakangi tubuhnya. Ia kemudian menjilati sekujur punggungku setelah menarik turun daster yang kupakai. Tangannya kemudian menyibak daster bawahku sehingga dasterku terkumpul diperut. Dari belakang, kurasakan tangan Mas Rudi menyerang vaginaku, bibir mungil bawahku dibelai dengan jari-jarinya, kadang jari tengah disisip dan digesekkan tepat dibelahan vaginaku.

"Ouhh..," aku merintih kenikmatan saat jari tengah Mas Rudi mulai mengocok vaginaku dari belakang.

Sepuluh menit kocokan jari itu kurasakan, aku sudah melayang dan nyaris sampai puncak. Tapi mendadak jari itu berhenti dan dicabut dari liang senggamaku yang sudah monyong-monyong kenikmatan.

"Kok berhenti mas..," aku tetap terpejam dan membelakangi Mas Rudi.

Mas Rudi diam dan kembali mencumbuiku, tapi tetap tak bersuara. Masih dengan tubuh mebelakangi Mas Rudi, aku mencoba meraih bagian celana suamiku. Tapi, astaga, punya Mas Rudi ternyata bangun malam ini, tegak dan terasa keras.

Karena bingung campur penasaran, kupicingkan mata dan segera berbalik kebelakang.

"Haahh, Bruuccee.., apa-apaan ini?" aku sangat terkejut karena ternyata yang sedang mencumbuiku ternyata Bruce, bukan Mas Rudi. Bruce juga terkejut, mungkin tak mengira kalau aku akan bangun. Tiba-tiba tangan kekar Bruce membekap mulutku dan ia pun segera menindih tubuhku.

"Ayo Anni, please.. Tolong aku, ini sudah tanggung.., jangan melawan kalau tak mau kukasari," Bruce sedikit mengancamku.

Keadaan memang sudah tanggung, aku dan Bruce sudah sama bernafsunya. Tapi aku harus melawan, aku tak boleh begitu saja pasrah, aku gengsi dan malu dong. Namun aku tak berkutik ditindih berat tubuh Bruce.

"Jangan Bruce.., aku takut Rudi tahu," pintaku, walau sebenarnya aku pun ingin menikmati cumbuan itu lagi.
"Hsstt.., Ani.. Tolong aku. Oke aku tak akan masukan penisku ke vaginamu, tapi tolong bantu aku sampai aku puas ya..," Bruce merengek.

Bruce aktif lagi mencumbuiku. Sudah kepalang tanggung pikirku, sehingga akupun pasrah terbawa cumbuan Bruce. Dengan posisi menindihku, Bruce membuka celananya dan menempelkan penis panjangnya yang sudah tegap di vaginaku. Menepati janjinya, penis itu tidak dimasukan dalam liang vaginaku, tetapi hanya digesekkan saja dipermukaan vaginaku. Lima menit berlalu rupanya pertahananku hampir bobol. Meski tak masuk keliang nikmatku, namun gesekan penis Bruce ditambah bobot tubuhnya diatas tubuhku membuat vaginaku menerima rangsangan yang cukup dibagian klitorisnya.

"Emmhh.. Bruuccee..," akhirnya erangan nikmatku keluar juga. Saat itu kurasakan klitorisku mulai membesar dan denyutan kecil mulai terasa mengitarinya, aku hampir orgasme.
"Ani..," Bruce memanggilku dan menghentikan aktifitasnya. Setelah itu kurasa Bruce memindahkan posisi penisnya sehingga ujung penisnya tepat berada dibelahan bibir vaginaku yang sudah basah kuyup.

Bruce kini lebih berani, penis itu ditekan masuk ke vaginaku yang memang sudah resah menunggu. Akhirnya aku dan Bruce bersenggama, ya Bruce jadi pejantanku malam itu. Kuakui mungkin Bruce adalah pria pertama yang memberi kepuasan begitu dasyat padaku. Sore hingga malam itu, kami lakukan aktifitas seks sampai empat kali. Empat kali itu pula aku merasa puncak yang sangat fantastis.

Namun kenangan bersama Bruce tinggal kenangan saat esok paginya Bruce harus kembali ke Jakarta. Aku Ani, kembali kesepian. Terima kasih Bruce, untuk kenangan satu malam yang sangat berkesan.

Seminggu ini rumahku sering dapat telepon gelap yang intinya mengancam Mas Rudi suamiku, lantaran berita yang dibuat Mas Rudi menohok salah satu kepentingan pejabat di kota M. Malah belakangan yang ikut mengancam mengaku-ngaku dari aparat keamanan juga.

"Mas.., kita pindah rumah sementara yuk. Aku kok jadi takut diteror terus," pintaku pada Mas Rudi malam itu. Kami sudah berbaring di kamar karena memang jam sudah menunjuk angka 10 malam.
"Heemm, kenapa sayang? Aku janji nggak akan ada apa-apa," Mas Rudi menjawab sambil memeluk tubuhku.

Mas Rudi kemudian menjelaskan padaku tentang berita yang dibuatnya itu. Katanya masalah dengan pejabat itu sudah selesai dua hari lalu, damai. Tapi aku masih saja trauma dengan kejadian pertama yang berakibat fatal hingga penganiayaan yang membuat penis Mas Rudi mati total itu.

"Tapi Mas..,"
"Sudah sayang.., kamu nggak usah takut. Itu resiko kerja namanya," katanya lagi.

Pembicaraan kami akhirnya berhenti, dan kami berdua terlelap tidur. Seharian tadi memang aku sangat capek mengurus kios hanya dibantu Ijah, dan Mas Rudi pun kelihatan letih seharian bekerja.

"Sayang.., bangun sayang..," suara Mas Rudi membangunkan aku tengah malam.
"Tuh dengar.. Sepertinya ada yang masuk ke rumah," kata Mas Rudi saat aku membuka mataku. Benar saja, di ruang tamu rumah kami terdengar banyak langkah kaki dan suara berisik. Mas Rudi segera bangkit dan membuka pintu kamar.

Braakk!! pintu kamar terbuka sebelum dibuka Mas Rudi, daun pintu yang terdorong kencang malah membentur wajah Mas Rudi hingga ia terpental ke lantai.

"Jangan berteriak..!!," empat lelaki bersenjata api dan senjata tajam mendesak masuk ke kamar tidur kami sambil mengancam dan menodongkan senjata mereka. Aku sungguh takut malam itu, apalagi kulihat Mas Rudi pingsan akibat benturan pintu.
"Ha.. Ha.. Ha, sekarang kalian akan rasakan pembalasan bos kami ya..! Hei kamu pelacur, ayo kesini," lelaki yang bertubuh paling besar memanggilku kasar dan menarik tubuhku turun dari kasur.
"Sssiapa kalian.., apa salah kami?" aku mengiba.

Muka mereka tertutup stoking mirip perampok, kupikir kami memang sedang dirampok. Tapi setelah mereka menjelaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menghajar Mas Rudi karena berita pejabat itu, aku baru sadar, kami sedang dalam bahaya. Astaga, mereka juga rupanya sudah meringkus Ijah, dan dibawa serta kekamar kami.

"Nyaahh, toloong Nyah.." Ijah dipegang erat dua lelaki lainnya, sementara yang dua mulai mengikat tubuh Mas Rudi ke sebuah kursi di kamar. Singkatnya malam itu kami bertiga diikat kaki dan tangan, tapi aku dan Ijah dibiarkan terikat di kasur sedangkan Mas Rudi diikat dalam posisi duduk menghadap kami di kursi.
"Hai kopral.. Ambil air, biar nih wartawan sok jago sadar," kata lelaki yang paling besar kepada yang lain.
"Oke komandan, segera laksanakan," dua lelaki langsung mengambil air, begitu kembali seember air langsung diguyur ke Mas Rudi.
"Hhhaahh.. Siapa kalian bangsaat..," Mas Rudi menghardik mereka ketika sadar. Tapi posisi yang terikat membuat Mas Rudi tak bisa berbuat banyak, apalagi setelah itu mulut Mas Rudi ditutup lakban. Mereka juga menutup mulutku dan Ijah dengan lakban pula.
"Heii sombong, kamu pikir bos kami begitu saja memaafkanmu dengan damai dua hari lalu? Tadinya kami ditugaskan gorok lehermu. Tapi.. (Lelaki itu memandang aku dan Ijah) Tidak. Kami akan lebih kejam dari itu.. Lihat saja bagaimana sebentar lagi kontol-kontol kami mengoyak-koyak pembantu dan istrimu yang cantik dan mulus itu," tangannya menuju arahku dan Ijah.

Setelah mengatakan akan memperkosa aku dan Ijah, keempat orang itu lalu saling bagi. Yang paling besar dan satu lagi yang agak tambun meraihku dan mengikatku kembali dalam posisi terlentang. Tangan dan kakiku diikat diujung-ujung ranjang. Sedangkan dua lelaki lain, yang jangkung dan yang botak meraih Ijah dan mengikatnya seperti posisiku dilantai kamar.

"Hmmpp..," Mas Rudi hanya bisa bersuara tersumbat dengan mata melotot ketika keempat lelaki itu membugili aku dan Ijah. Mata keempat lelaki itu memandangi tubuh polos kami berdua.

Aku sangat takut malam itu, sungguh aku takut. Kupikir aku dan Ijah akan jadi korban perkosaan brutal, terus terang aku jijik sekali melihat tampang mereka malam itu. Tapi dugaanku meleset. Si jangkung mendekat ke arah Ijah, sedangkan tiga lelaki lainnya duduk menonton dikursi dekat Mas Rudi berada.

"Tenang sayang.. Kamu pasti asyiik kubuat," jangkung mulai meraba-raba Ijah. Aku bisa melihat semuanya karena posisi Ijah tak terlalu jauh dari dipan tempat aku diikat.

Bibir si jangkung langsung mengisap isap susu Ijah.

"Ehgghh.. Mmmppffhh," ijah bersuara keras tersumbat, tapi nadanya protes.

Jangkung terus beraksi, malah hisapan dan rabaannya mulai turun dan akhirnya bermuara di vagina Ijah yang jelas terlihat karena diikat mengangkang. Awalnya Ijah terus mengeluarkan suara keras bernada protes. Tapi beberapa menit kemudian Ijah sepi, yang ada justru Ijah mendesis-desis menahan birahi.

"Mmmpphhff.. Eengghh..," tubuh ijah mengelinjang menahan geli saat lidah jangkung menyapu klitorisnya.
"Ha.. Ha.. Kenapa sayang.. Hah? Mulai enak ya," jangkung mengejek Ijah sambil melucuti pakaiannya sendiri sampai bugil juga.

Kini jangkung siap menyetubuhi pembantu kami itu. Penisnya yang lumayan besar sudah diletakkan persis dipintu masuk vagina Ijah. Ijah sudah birahi dengan mata sayu memandang jangkung, nafasnya pun terlihat memburu dari dadanya yang turun naik. Bleess.. Pleess.. Jlebb.. penis jangkung amblas total di vagina Ijah.

"Ngghh..," Ijah menggelinjang menerima penis jangkung.
"Ouhh eennakk sekali tempikmu sayang," jangkung nyerocos sambil menggenjot Ijah.
Tiga lelaki dikursi ternyata sudah mengeluarkan penis mereka dari balik celana sambil mengocoknya dengan tangan sendiri. Sementara Mas Rudi kulihat pun terpana dengan adegan jangkung dan Ijah.

"Aaahh.. Ommhh ammpuhhnn omhh.. Engghh," Ijah mendadak mengeluarkan desis kenikmatan waktu jangkung membetot lakban di mulutnya.
"Ha.. Ha tuh kan akhirnya ennaak, makanya jangan ngelawan yah..," jangkung bangga terus nggenjot Ijah. Saat itu terus terang aku mulai membayangkan betapa sebentar lagi aku pun akan merasakan kenikmatan seperti Ijah, dientot lelaki asing.
"Iyaahh Oom terusinn.., aku sudah lama nggakk ginian," Ijah menceracau.
"Ohh sayanghh, omhh nggak tahaann aahhggkk," si jangkung rupanya over nafsu. Ijah belum apa-apa jangkung sudah kejang diatas tubuh ijah.
"Wah.. Payah lo kopral," si botak menghardik.
"Ayo sana biar Om botak yang selesaikan sayang," botak mendekat tubuh Ijah yang pasrah, jangkung lunglai disamping Ijah.
"Ohh.. Omhh botak.. Cepethhaann puasiinn Ijahh..," Ijah rupanya sudah dilanda birahi yang sangat.

Matanya merem melek dan pinggulnya bergoyang erotis meminta penis si botak segera masuk. Botak segera menindih tubuh Ijah setelah ia melucuti pakaiannya sendiri. Penisnya yang gemuk pendek mendesak masuk ke vagina Ijah yang sudah becek kena sperma jangkung.

"Duhh omhh.. Ennakhh Ijhaah omhhpff..," bibir Ijah langsung dikulum sambil tubuh botak menggenjotnya kuat. Mereka bermain imbang, desahan dan gerakan tubuh mereka mulai mempengaruhi dua lelaki lain dan Mas Rudi yang terus melotot ke arah Ijah dan botak.
"Mpfhh.. Huhh sayanghh.. Enak sekali vaginamu sayanghh..,"
"Iyaahh omhh.., Ijaahh keluuaarrhh.. Ouhhgg omnhh nnaakkhh omhh..," tubuh Ijah kaku dengan tangan memeluk keras tubuh botak.
"Ahhggkk.. Ayoo saynggh.. Omhh jugaa nihh," Botak pun orgasme. Botak berbaring diatas tubuh Ijah tanpa mencabut penisnya, Ijah malah senang dan memeluk botak sambil menciumi pipinya.

Lelaki berbadan gemuk bangkit dari kursi dan melucuti pakaiannya. Penisnya yang tegang mengacung acung, dan ia bergerak ke arahku.

"Hei brengsek.. Lihat ya sebentar lagi istrimu ini akan merengek juga seperti pembantumu itu.. Ha.. Ha," ia menghardik Mas Rudi. Mas Rudi terlihat pasrah, sementara aku sendiri bingung harus bagaimana dalam posisi terikat, terlentang, dan telanjang seperti itu.

Tanpa dikomando si gemuk langsung saja menggerayangi tubuh telanjangku. Hisapan demi hisapan, jilatan lidahnya menyapu bersih lekuk tubuhku. Aku berusaha berontak tapi percuma, aku terikat. Kutatap Mas Rudi meneteskan airmata saat itu. Aku mau marah pada si gemuk, tapi posisiku sulit. Apalagi terus terang aku pun mulai dijalari birahiku. Kenyataan harus terjadi, aku istri yang sudah berbulan bulan ini tak pernah menikmati permainan seks suamiku, tentu tak bisa menahan rangsangan yang sedang terjadi pada tubuhku.

"Mhhppmm," aku merintih saat lidah si gemuk mulai menjilati bibir vaginaku.
"Woowww.. Mulus sekali pelacur yang satu ini.., gimana sayanghh marah ya? tapi kok vaginanya sudah banjir," si gemuk mengejekku, aku terpejam tak mampu memandang Mas Rudi.
"Hmmpp," Mas Rudi bersuara, tetapi si tubuh besar langsung menggamparnya.

Situasi sudah sulit, lidah si gemuk semakin liar dan membuat kenikmatan tersendiri padaku.

"Ehmmhh," aku merintih tak bisa menahan kenikmatan itu, pinggulku mulai bergerak teratur seirama jilatan lidah si gemuk divaginaku, aku pasrah dan menikmati permainan gemuk itu. Malah saat ini aku mulai bernafsu agar penis si gemuk mengoyak vaginaku yang sudah gatal.

Tapi rupanya si gemuk sengaja menyiksaku, jilatan lidahnya sudah masuk kemenit lima belas menerjang vaginaku. Aku sudah bergerak tak karuan menerima kenikmatan darinya, tapi tak juga gemuk menyetubuhiku.

"Mhhppff.. Engghh..," aku tak tahan lagi, seluruh rasa nikmat berkumpul diklitorisku membuat pertahananku akhirnya jebol. Aku orgasme dengan belasan kedutan kecil divaginaku. Aku malu sekali pada Mas Rudi yang terus menatapku, tapi apa daya, maafkan aku Mas, aku tak berdaya.

"Haa.. Haa, keluar juga airmu sayanghh. Tapi biar yang puaskan kau lagi si jendral ya. Aku akan lanjutkan dengan Ijah," gemuk meninggalkanku dan menuju Ijah.

Disingkirkan tubuh botak yang masih lemas diatas tubuh Ijah, lalu gemuk menyetubuhi Ijah. Astaga, Ijah rupanya birahi lagi saat aku dikerjai lidah gemuk tadi, sehingga saat gemuk membenamkan penisnya ke vagina Ijah, dia malah menggebu gebu menerima. Aku sungguh iri dengan Ijah yang sudah klimaks pakai penis tapi dikasih lagi sama si gemuk. Huh apa aku kurang sexy, pikirku.

Belum habis pikir, mendadak kurasa tubuhku ada yang meraba-raba lagi. Rupanya si tubuh besar yang dipanggil jenderal itu sudah telanjang dan sudah berada disisiku sambil menciumiku. Ciumannya sungguh lembut tak seperti gemuk yang agak kasar dan terburu-buru.

"Aku akan memberimu kepuasan sayanghh, kamu cantik bidadariku," tak kusangka Jenderal membisikan kalimat itu ke telingaku, tentu Mas Rudi tak mendengar karena bisikannya sangat pelan. Entahlah apa yang terjadi, yang jelas mendapat bisikan penuh kasih begitu gairahku naik lagi. Jenderal lalu membuka lakban dibibirku dan ikatan ditanganku, sedangkan kakiku tetap terikat diujung dipan bawah.

Kini tanganku sebenarnya bebas tapi kenapa aku tak melawan? Aku sengaja memukul dada bidang Jenderal hanya untuk menjaga perasaan Mas Rudi, dan Jenderal yang tahu maksudku kembali menangkap tanganku dan disekapnya dengan posisi menindihku. Saat itu kelamin kami sudah bertemu walau penis Jenderal yang tegak belum dimasukan ke vaginaku.

"Jangann.. Kumohonn jangann..," aku merintih antara penolakan karena ada suamiku, dan harapan agar Jenderal segera menyetubuhiku karena birahiku sudah tinggi dan menggebu.
"Tenang sayang. Aku sudah tahu semua file rumah tanggamu dan si brengsek itu. Aku tahu kalau Rudi suamimu tak lagi mampu melayani kebutuhan sexmu,"

Aku tersentak mendengar ucapan jenderal, lalu aku memandang Mas Rudi, Mas Rudi tampak pasrah memandang tubuh istrinya yang sesaat lagi akan menyatu dengan tubuh lelaki lain. Jenderal kemudian mencium dan mengulum bibirku beberapa lama, tanpa sadar aku membalas lumatan bibirnya dengan nafsu pula. Kurasakan dia berusaha menepatkan posisi ujung penisnya dibelahan bibir vaginaku.

"Mhhppff.., aahh.. Enghh..," aku merintih nikmat tak peduli lagi Mas rudi menatap kami, saat penis besar Jenderal mendesak masuk keliang nikmatku.
"Ouhh.., sudah kusangka vaginamu masih rapat sayanghh.., nikmati permainan kita ya manis," jenderal berbisik lagi membuatku semakin melayang dipuji-puji.

Penis Jenderal keluar masuk secara teratur di vaginaku dan aku mengimbanginya dengan gerakan pinggul memutar.

"Hmm.., puaasshhkan aku sayangghh..," tak sadar aku membalas bisikan Jenderal itu sambil memeluk tubuhnya untuk lebih rapat menindihku.
"Chhaantikhh kamu sayanghh.., cantik sekali wajahmu saat nikmat ini,"
"Aohh.. Iyaahh sayanghh.. Akhuu milikmuh saat ini..,"

Kuakui permainan lelaki yang dipanggil rekannya sebagai jenderal memang luar biasa, romantis, lembut, tapi sungguh memacu birahiku secepat genjotannya di tubuhku. Gerakan tubuh jenderal semakin cepat dan teratur diatas tubuhku. Erangan dan rintihanku sudah tak bisa membohongi Mas rudi kalau aku memang birahi saat itu. Tapi saat aku hampir klimaks, mendadak jenderal menghentikan aktifitasnya dan mencabut penisnya dari vaginaku. Ia lalu membuka ikatan di kedua kakiku.

"Ayo sayang kita berdiri," jenderal menarik tubuhku berdiri, lalu mendorong punggungku ke arah kursi Mas Rudi.

Posisiku jadi tepat berhadapan wajah dengan Mas Rudi suamiku, dan jenderal dibelakangku kembali menghujamkan penisnya ke vaginaku. Aku malu sekali saat itu, aku harus sekuat tenaga menyembunyikan wajah terangsangku dihadapan Mas Rudi, tapi dilain sisi kenikmatan yang sangat dari penis jenderal menghujam di vaginaku dari belakang.

"Ahh.. Ouhh.. Maaffkhaann akuhh mass..," hanya itu yang terucap di bibirku saat sodokan penis jenderal masuk ke menit ke sepuluh dalam posisi nungging itu.
"Ayohh sayang.. Lepas lakban suamimu," jenderal memerintahku, dan kubuka lakban dimulut Mas Rudi. Aneh Mas Rudi tak lagi marah, ia terlihat sangat pasrah.
"Masshh," kulumat bibir Mas Rudi dan Mas Rudi mengangguk lalu membalas lumatan bibirku.

Jenderal semakin keras mengocokku dari belakang, aku semakin tak terkendali kurasakan kenikmatan sudah puncak dan menjalar diseluruh tubuhku mengumpul dibagain pantat, paha, vagina dan klitorisku.

"Ahh sayyanngghh.. Ohh.. Mmffhhpp..," aku tak kuasa lagi membendung kenikmatan itu, dinding vaginaku berkedut berkali-kali disodok penis jenderal. Bibir Mas Rudi kembali kuhisap kuat.

Belum habis orgasme yang kurasakan, Jenderal menarik tubuhku dari belakang dan menggendongku. Posisiku seperti anak kecil yang dibopong bapaknya yang bertubuh besar dari belakang.

"Ayo maniss.. Ini lebih nikmat sayanngg.., sekarang merengeklah sepuasmu honneyy," dalam posisi itu penis jenderal masih mengocokku tangannya mengangkat tubuhku naik turun dengan posisi berdiri.
"Akhhss.. Sahhyaangghh..," aku tuntas sudah, orgasmeku sempurna ditangan jenderal.
"Oghhkk.. Terima maniku sayanghh," jenderal orgasme dengan posisi berdiri menopang tubuhku yang lunglai. Kurasakan seburan spermanya menembus dinding rahimku. Lalu jenderal menjatuhkan tubuh kami diatas ranjang kembali, kami berpelukan seperti pasangan kekasih.
"Terima kasih sayang.., kalau saja kau istriku aku pasti bahagia," jenderal kembali melumat bibirku. Aku membalasnya dan dalam hatiku pun menjawab seandainya juga kau suamiku jenderal.

Aku tak peduli lagi malam itu, aku pun lemas dibuai nikmat hingga akhirnya tertidur lelap.

"Sayang.. Bangun sayang," suara Mas Rudi membangunkanku.

Ternyata hari sudah pagi, dan empat lelaki itu sudah tak ada lagi. Aku masih telanjang dan hanya terbungkus selimut, Ijah masih tertidur telanjang juga dilantai. Sedangkan Mas Rudi terlihat lusuh.

"Oh.. Mas, maafkan aku semalam Mas.. Aku seharusnya melawan," kupeluk suamiku, aku takut kehilangan Mas Rudi.
"Nggak sayang, aku yang salah.., Harusnya aku bisa melindungimu," Mas Rudi memelukku erat.

Sejak kejadian itu, kami pindah rumah di wilayah yang agak jauh dari kota M, tempat Mas Rudi bekerja, tapi masih satu provinsi dengan kota M.

Tamat

0 komentar:

Posting Komentar