Minggu, 01 Februari 2015

A Taste of Honey - The Party Must Over

Beberapa hari setelah pulang dari Pangandaran, setelah jam makan malam aku dipanggil Bapak kostku. Kupikir tumben malam-malam begini Bapak memanggilku. Sudah beberapa malam aku memang tidak ke rumah induk, JJM ke Bogor cari suasana yang baru. Biasanya hampir tiap malam, meskipun sebentar aku menyempatkan numpang nonton berita di TV agar tahu kondisi terkini.

"Duduk, To!" katanya datar.

Suasana kurasakan agak asing, tidak seperti biasanya. Biasanya tanpa disuruHPun aku sudah duduk, bahkan kadang tiduran di lantai. Akupun duduk di depannya. Ibu kosku duduk agak jauh dari tempat kami.

"Saya mau tanya, jawab dengan jujur!" katanya lembut tapi tegas. Aku diam saja, tapi debaran jantung mulai meningkat.
"Langsung saja. Saya mulai denger bisik-bisik, kalau kamu belakangan ini sering pergi dengan Ibu Heni?" Aku tercekat, tidak bisa mengeluarkan suara apapun.
"Eee.. Eehh..," aku tergagap.

Pantas saja kemarin waktu aku jalan di gang, ada tetangga yang melihatku dan memberikan isyarat pada teman bicaranya. Aku sebenarnya bukan orang yang sensitif, namun kata-kata Bapak kosku mengingatkanku.

"Tadinya saya senang kamu bisa membantu mengajari Eka. Tapi tidak kukira kalau kamu kemudian memanfaatkan kesempatan ini. Sayang sekali kalau kuliahmu sampai terganggu, lagian Ibu Heni kan sudah berkeluarga. Kenapa sih kamu tidak cari yang masih single saja?"

Aku hanya diam dan semakin menundukkan kepalaku. Setelah Bapak kosku berbicara panjang lebar menasehatiku, akhirnya dia berkata.

"Saya anggap kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ya sudah, mulai sekarang jauhi dia. Saya tidak melarang kamu mengajari Eka, tapi jangan bikin affair dengan ibunya lagi. Tentu kamu pernah dengar gosip tentang hubungannya dengan seorang pejabat. Namun demikian semuanya terpulang kepadamu, apapun yang kau putuskan. Saya memberi nasehat bukan karena saya pandai, namun lebih karena saya sudah lebih dahulu lahir dan lebih dahulu menikmati masa muda!"

Aku kembali ke kamar dengan kepala berdenyut-denyut. Tapi kupikir benar juga. Dalam hal ini memang aku yang salah. Apapun alasannya. Sampai malam aku masih memikirkan ucapan Bapak kosku dan berpikir tentang hubungan gelapku dengan Hanny ke depannya.

Esoknya aku menyempatkan diri bertemu dengan Hanny dan kami janjian di sebuah kafe di Bogor. Aku berbicara panjang lebar mengulangi apa yang sudah kudengar tadi malam. Mukanya terlihat keruh, matanya mulai sembab dan berair.

"Aku tahu bahwa hubungan kita ini memang tidak benar dilihat dari sisi manapun. Namun aku juga tidak dapat menahan dorongan dari hatiku untuk selalu bertemu dan berbagi kenikmatan denganmu. Kalau harus berpisah begitu saja, untuk saat ini aku tidak sanggup. Lebih baik kita kurangi frekuensi pertemuan dan lebih berhati-hati memilih waktu dan tempat pertemuan," katanya sambil terisak. Aku hanya diam dan menggenggam jarinya.

Akhirnya kami sepakat untuk mengurangi frekuensi pertemuan dan lama waktu pertemuan. Sejak itu kami bertemu dua atau tiga minggu sekali dan itupun tidak dalam waktu yang lama. Selesai menumpahkan gairah, maka kamipun segera pulang secara terpisah. Namun kadang dia masih meminta kenikmatan ekstra sekali lagi dan kuberikan dengan Quicky.. Quicky. Perlahan-lahan bisik-bisik tentangku pun menghilang.

Akhirnya setelah setahun setengah tinggal di kosku tersebut akupun dinyatakan lulus dan sebulan lagi akan ada wisuda. Ketika bertemu maka kuberitahukan kepada Hanny tentang kelulusanku dan iapun mengucapkan selamat, "Selamat ya, sarjanaku. Nanti aku akan memberikan hadiah yang khusus buatmu".

Menjelang wisuda akupun sudah melamar kerja di Jakarta dan diterima sebagai staf pembukuan di sebuah perusahaan yang berkantor di sekitar Harmoni. Namun aku minta agar dapat mulai bekerja setelah wisuda saja. Tiga hari setelah wisuda Hanny memintaku untuk bertemu.

"Aku sebenarnya tidak mengharapkan kita berpisah. Namun aku juga sadar bahwa jalan hidupmu tentu tidak bisa aku yang mengaturnya. Aku kali ini ingin bercinta denganmu, mungkin untuk terakhir kalinya. Kalaupun nanti kita masih bertemu aku sangat senang, namun kalau tidak, pertemuan ini menjadi kenangan yang indah bagiku. Aku ingin semalaman memelukmu. Aku sudah mencari alasan untuk pergi selama sehari semalam. Kalaupun orang atau bahkan Pak Edi tahu aku sudah siap dengan segala resikonya," katanya.

Ia mengajakku untuk menginap di sebuah hotel di Ancol. Rupanya ia sudah memesan kamar khusus. Setelah kami masuk ke dalam kamar, maka aku menjadi sangat terkejut melihat suasana kamar. Sebuah kamar dengan pandangan ke laut, sebuah ranjang bundar dengan bed cover merah muda dan langit-langit kamar yang dilapisi cermin. Kupikir ia mengeluarkan uang cukup banyak untuk kencan terakhir ini.

Ketika aku masuk ke kamar mandi, Hanny masih merapikan ranjang. Entah apalagi yang diperbuatnya. Baru pada saat kembali ke dalam kamar aku merasakan suatu perasaan yang very very excited. Kucium harum bunga melati dan kulihat ia sedang menaburi ranjang dengan bunga melati.

Kupeluk ia dari belakang dan kuusap pinggangnya. Kurapatkan tubuhku ke tubuhnya sehingga kejantananku menekan belahan pantatnya. Ia mengenakan baju panjang warna krem dengan ritlsuiting di depan dada sampai sebatas perut. Celana panjangnya berwarna hitam dengan sepatu hak tinggi di bawah telapak kakinya.

Kubawa ia ke jendela sambil melihat Teluk Jakarta di waktu siang menjelang sore. Kucium tengkuknya dan ia menarik napas panjang.

"Hhmmh.. Anto".

Ia membalikkan badannya. Mukanya sedikit mendongak, bibirnya yang merah setengah terbuka dan semakin mendekat ke bibirku. Kami berciuman dengan lembut namun penuh gairah terpendam. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil sebutir pil, dan menyuruhku untuk meminumnya.

"To ini diminum dulu agar kamu bisa memuaskanku sampai besok pagi".

Aku menolaknya. Kupikir badanku saat ini dalam kondisi fit. Kalau untuk tiga atau empat pendakian sampai esok pagi rasanya masih mampu. Kalau ia ingin lebih, biarlah aku menunda kepuasanku dan kupuaskan ia terlebih dahulu sampai ia menyerah.

"Nggak usah Han, kalau kamu ingin lebih aku akan menunda orgasmeku dan memuaskanmu dahulu".

Kutarik ritsluiting baju di depan dadanya dengan gigiku dan kemudian tanganku melanjutkan untuk membukanya. Dadanya yang terbuka berwarna putih mulus terlihat kontras dengan bra berwarna hitam yang masih menutup payudaranya. Kucium bahunya, kumainkan tali bra-nya. Ia memelukku dan mengusapkan pipinya di kepalaku. Mulutnya menjilati lubang telingaku dan membisikkan kata-kata penuh gairah.

"Ouhh Anto.. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Kita akan menikmatinya detik demi detik.. Ouhh!"

Kucium dan kugigit bagian dada di antara dua gundukan daging payudaranya. Kulitnya memerah karena bekas gigitanku tadi. Ia tidak mencegahku untuk mencupangnya, bahkan ia memintaku untuk melakukannya lagi.

"Anto.. Berikan lagi gigitan semutmu.. Aoouhh!"

Kubuka bajunya kemudian bajuku sendiri dengan posisi tetap berciuman dan berpelukan. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Bibirku menyusuri bahunya melepas tali bra-nya lewat tangannya bergantian kanan kiri, kubiarkan bra-nya masih menutup dadanya karena pengait dipunggungnya belum kubuka. Kembali bahunya yang sudah terbuka kucium dan kugigit sampai memerah.

Aku bergerak memutar sehingga berada di belakangnya. Kulepas pengait bra-nya, dan kutarik dengan gigitanku. Kini dadanya terbuka polos. Dari belakangnya, tanganku meremas pantatnya dan menciumi punggungnya yang putih. Tanganku meremas buah dadanya yang kencang. Kuciumi leher dan belakang telinganya, kemudian kugesekkan pipi kananku ke pipi kirinya. Sambil kucium punggungnya kini tanganku melepas celananya dan celana dalamnya sekaligus, tapi kubiarkan sepatu hak tingginya masih melekat di tumitnya. Tak lama celana dan celana dalamkupun sudah melayang. Aku tetap menciuminya sambil berbaring miring di belakangnya. Kugigit punggungnya dan terus menyusuri sekujur punggungnya ke bawah. Tanganku mengusap pantat dan kugigit pelan. Hanny menggelinjang.

Ia berbalik dengan posisi dadanya di depan mukaku. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera kutangkap dengan bibirku. Mulutku bergerak ke bawah perutnya, ia membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku hanya menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya. Aku tidak ingin merangsangnya dengan mulutku. Kepalaku bergerak ke atas dan menciumi ketiaknya yang terbuka, karena tangannya berada di atas kepala sambil meremas bantal.

Kami berguling sedikit dan sebentar kemudian ia sudah berada di atasku. Bibirnya lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Hanny mendorong lidahnya jauh ke dalam mulutku, kemudian menggelitik dan memilin lidahku. Kubiarkan Hanny yang mengambil inisiatif menyerang. Sesekali lidahku yang membalas mendorong lidahnya. Tanganku meremas-remas payudaranya.

"Auhh, Ayolah Anto.. Terus," ia merintih pelan.

Kemaluanku mulai menegang dan mengeras. Kukulum payudaranya semuanya masuk ke dalam mulutku, kuhisap dengan kuat, putingnya kumainkan dengan lidahku. Napasnya memburu dengan cepat. Detak jantung kami semakin cepat meningkat.

"Ayo puaskan aku untuk saat-saat terakhir sayang.. Ahh.. Auuh!" Hanny mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya.

Tangan kiriku mulai menjalar di pangkal pahanya, kumasukkan jari tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan kugesek-gesekkan ke dinding depan vaginanya.

"Ah sayang. Kamu liar dan nakal sekali".

Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya. Tangannya tak mau kalah memegang, meremas dan mnegocok kejantananku. Dengan ganas aku menciumi seluruh bagian tubuh yang dapat kujangkau. Beberapa saat kemudian ereksiku sudah mendekati maksimal. Kepalanya berdenyut menantang lawan di depannya.

Jari tengah kiriku kugerakkan lebih cepat dan tubuhnya kemudian meliuk-liuk menahan kenikmatan. Pinggulnya naik dan berputar-putar. Tangan kananku memelintir puting payudara kirinya dan dan mulutku kini menggigit puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula gerakan pantat dan pinggulnya.

Permainan tangan kiriku kuhentikan dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang vaginanya. Sebentar kemudian dengan mudah aku sudah menembus guanya yang panas. Pinggulku kugerakkan naik turun dan ia mengimbangi dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya. Harumnya bunga melati sangat membantuku untuk lebih rileks namun sekaligus juga sangat menimbulkan gairah tersendiri. Kakinya yang masih memakai sepatu hak tingginya menjepit pahaku dan kadang dikangkangkan lebar-lebar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit sampai meninggalkan bekas kemerahan. Aku akan menghujaninya dengan cupangan pada sekujur tubuhnya.
Kucabut penisku dan kubalikkan tubuhnya, ia mengerti maksudku. Segera ia nungging menaikkan pantatnya yang memang masih kencang. Kuposisikan diriku di belakang pantatnya. Diraihnya penisku dan segera diarahkan untuk menerjang guanya kembali. Kuterjang vaginanya dengan kocokan lembut. Tanganku memegang pantatnya dan membantu menggerakkan pantatnya maju mundur. Ia yang masih memakai sepatu hak tinggi kelihatan sangat seksi, seperti adegan di BF.

Ia mulai menggelinjang dan mengejang lembut, kedua tangannya mencengkeram dan meremas sprei.

"Ouhh.. Sudah To.. Kita.."

Ia merintih ketika pantatku kugerakkan kebelakang sampai penisku hampir terlepas dan kumajukan dengan cepat. Kuulangi beberapa kali lagi dan iapun menekankan kepalanya miring di atas bed.

"To.. Kita kembali posisi.. Kita.. Aku.." ia menjerit dengan kata-kata yang tidak jelas. Ia memintaku untuk kembali dalam posisi semula.

Kembali kucabut penisku dan segera kurebahkan kembali dalam posisi konvensional. Aku tahu ia, dan aku juga, hampir mengakhiri babak pertama ini. Kami bergerak berputar-putar. Karena ranjang berbentuk bundar maka kemanapun arah tidur kami tetap dapat memuat tubuh kami berdua dengan nyaman. Setiap kulihat cermin di langit-langit, maka akupun terpacu untuk membagi kenikmatan yang lebih kepadanya.

Bunyi crik.. crik.. crikk dari gelang kakinya semakin sering dan kuat, memenuhi seluruh sudut kamar. Vaginanya kugenjot semakin cepat dan kuangkat kaki kirinya dan kulipat sehingga lututnya menempel di perutnya. Dengan satu kaki terangkat dan satu lagi dikangkangkannya lebar-lebar ia semakin meracau.

"Ouahh.. Uuuhh!".

Dinding vaginanya mulai berdenyut dan akupun sudah mencapai no return point-ku. Sebuah titik dimana aku tidak bisa turun atau kembali lagi, harus kucapai puncak itu. Kakinya yang tadi kulipat kukembalikan lagi dan segera kedua pahanya menjepit pinggangku.

"Sekarang Han.. Aku mau kell.. lluu.. arr.. ghh," aku menggeram keras.

Pinggulnya naik menjemput kejantananku. Kutekankan kejantananku dalam-dalam di vaginanya.

"Ouhh Anto.. Aku juga samm.. paaiihh!" iapun memekik kecil.

Jepitan kakinya semakin ketat dan denyutan di vaginanya terasa meremas penisku. Hak sepatunya menekan paha belakangku. Ditekan-tekannya pantatku ke bawah dengan betisnya. Setelah beberapa saat kami sama-sama terkulai lemas bunga melati yang ditaburkannya tadi sebagian menempel pada tubuh kami yang basah kuyup oleh keringat yang membanjir.

Udara sejuk dari AC sangat membantu kami untuk mengembalikan tenaga. Hanny masih mengusap dan mempermainkan bulu dadaku. Ia berbaring miring di sebelahku dengan kaki kananya membelit kakiku. Kupeluk bahunya dan kuusap-usap dengan lembut.

"Aku tidak ingin hari ini berlalu. Aku masih ingin bersamamu mengarungi samudra kenikmatan," katanya sambil mengecup lenganku.

Setelah beberapa saat kemudian, maka napas dan detak jantung kamipun kembali normal dan kami tidur berpelukan sampai hampir lupa untuk makan malam. Jam tujuh malam aku terbangun dan perut terasa lapar. Aku memesan makanan dari kamar saja. Setelah makan kuajak Hanny untuk mandi dulu. Di bawah segarnya guyuran air hangat dari shower terasa tenaga kami dengan cepat menjadi pulih kembali.

Tanpa mengenakan apa-apa kami kembali lagi ke ranjang bundar dan Hanny sudah merengek minta untuk masuk babak berikutnya. Aku masih menatap dan menikmati pemandangan tubuh aduhai yang sedang dalam keadaan telanjang terlentang di sampingku. Ia naik ke atas tubuhku dan mencium bibir, leher dan telingaku. Mulutku menghisap kedua payudaranya, kugigit putingnya bergantian. Ia hanya melenguh dan gairah kami berduapun mulai timbul.

Tangannya menyusup di sela pahaku, kemudian mengelus, meremas dan mengocok penisku. Pantatku sesekali kunaikkan dan menahan napas. Bibirnya mengarah ke leherku, mengecup, menjilatinya. Napasnya dihembuskan dengan kuat ke dalam lubang telingaku. Kini dia mulai menjilati putingku dan tangannya mengusap bulu dadaku kemudian menjalar sampai ke pinggangku. Aku semakin terbuai kenikmatan. Kupeluk dan kuusap pungungnya dengan kuat.

Tangan kiriku dibawanya ke celah antara dua pahanya. Jari tengahku masuk, mengusap dan menekan bagian depan dinding vaginanya dan bersama ibu jari menjepit dan memilin sebuah tonjolan daging sebesar kacang. Setiapkali aku mengusap dan memilinnya Hanny mendesis keras.

"SShh.. Ouhh.. Sshhss"

Ia melepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulutnya bergerak ke bawah, menjilati perutku. Tangannya masih mempermainkan penisku, bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku, semakin ke bawah dan kemudian mengecup kepala penisku. Lidahnya membelah masuk ke lubang kencingku. Aku merasa seperti disengat aliran listrik tegangan tinggi dan secara refleks mengencangkan ototku. Dua buah telur yang menggantung di bawahnya kemudian diisapnya. Aku hanya menahan napasku setiap ia mengisap telurku.

Hanny kembali bergerak ke atas, tangannya masih memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri tegak. Kembali kami berciuman. Buah dadanya kuremas dan putingnya kupilin dengan jariku sehingga dia mendesis perlahan dengan suara merintih.

"SShh hhiihh.. Ssshh.. Ngghh.."

Perlahan lahan diturunkankan pantatnya sambil memutar-mutarkannya. Kepala penisku dipegang dengan jemarinya, kemudian digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa sudah mulai lembab karena cairan dinding vaginanya. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam vaginanya. Ketika sudah menyentuh bibir guanya, maka ditekannya pantatnya perlahan. Akupun menaikkan pantatku menyambutnya.

Hanny merenggangkan kedua pahanya dan segera kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya.

"Ayolah Hanny.. Dorong.. Aku akan menyambutnya dari bawah..!!"

Hanny semakin menekan pantatnya dan peniskupun semakin dalam masuk ke lorong nikmatnya.

"Ouhh.. Hanny," desahku setengah berteriak.

Hanny bergerak naik turun dan memutar. Perlahan-lahan kugerakkan pinggulku. Karena gerakan memutar dari pinggulnya maka penisku seperti disedot sebuat mulut pusaran. Hanny mulai mempercepat gerakannya, namun kupegang dan kutahan pantatnya, kemudian aku yang mengatur kecepatan gerakan pantatku dari bawah dengan perlahan. Hanny membuat denyutan-denyutan di dalam lubang vaginanya.

"Hanny.. Pelan saja. Kita nikmati saat-saat ini" desisku sambil mencium dadanya.

Aku ingin mengantarnya mengarungi samudra percintaan. Kami saling menjepit sebelah kaki dengan dua kaki kami. Kaki kirinya kujepit dengan kakiku dan demikian juga kaki kiriku dijepit dengan dua kakinya. Dalam posisi ini ditambah dengan denyutan pada kemaluan kami masing-masing terasa nikmat sekali. Kepalanya direbahkan di dadaku dan mengecup putingku.

Tanganku menarik rambutnya kebelakang sampai kepalanya terangkat. Kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Setelah kujilat dan kukecup lehernya kulepaskan tarikan pada rambutnya dan kepalanya turun kembali kemudian bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya dengan satu ciuman yang dalam dan lama.

Hanny kemudian mengatur gerakannya dengan irama lamban namun disertai dengan denyutan pada dinding vaginanya. Pantatnya diturunkan sampai menekan pahaku sehingga penisku terbenam dalam-dalam menyentuh dinding rahimnya.

Ia menegakkan tubuhnya sehingga ia dalam posisi duduk setengah jongkok di atas selangkanganku. Ia kemudian menggerakkan pantatnya maju mundur sambil menekan ke bawah sehingga penisku tertelan dan bergerak ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dan dijepit sebuah benda yang kuat namun lunak. Semakin lama-semakin cepat ia mengerakkan pantatnya, namun tidak ada kasar atau menghentak-hentak. Darah yang mengalir ke penisku kurasakan semakin cepat dan mulai ada aliran yang merambat di sekujur tubuhku.

"Ouhh.. Ssshh.. Akhh!" Desisannyapun semakin sering.

Aku tahu sekarang bahwa iapun akan segera mengakhiri pertarungan ini dan menggapai puncak kenikmatan. Aku menggeserkan tubuhku ke atas sehingga kepalaku menggantung di bibir ranjang. Ia segera mengecup dan menciumi leherku.

"Anto.. Sebentar lagi kita akan berlabuh.. Ouhh!"

Desiran dan aliran di saluran kencingku makin kencang.

Aku bangkit dan duduk memangku Hanny. Penisku kukeraskan dengan menahan napas dan mengencangkan otot antara buah zakar dan anusku. Ia semakin cepat menggerakkan pantatnya maju mundur sementara bibirnya ganas melumat bibirku dan tangannya memeluk leherku. Tanganku memeluk pinggangnya dan membantu mempercepat gerkan maju mundurnya. Ia sedikit mengangkat lutunya dan berteriak keras.

"Antokkhh.. Ayo.. Berikan aku.."
"Hanny.. Sekarang.. Kuberi.. Kkhhan..!"

Kutarik tubuhnya dan kembali kurebahkan tubuhnya ke atas tubuhku, matanya melotot dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bahuku dan..

"Anto.. Sekarang sayangku.. Sekarang.. Hhhuuaahh!"

Ia kini memekik kecil. Pantatnya menekan kuat ke bawah. Dinding vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Aku menahan tekanan pantatnya dengan menaikkan pinggulku. Bibirnya menciumiku dengan ciuman ganas dan sebuah gigitan pada bahuku. Satu aliran yang sangat kuat membersit lewat lubang meriamku. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan kutekankan kepalanya di dadaku. Napas yang putus-putus terdengar dan setelah sebuah tarikan napas panjang ia terkulai lemas di atas tubuhku. Keadaan menjadi sunyi.

Sisa malam itu masih kami isi dengan dua kali percumbuan yang panjang. Percumbuan terakhir sekitar jam lima pagi dengan foreplay yang lama dan kami mengejang bersama sekitar jam tujuh pagi. Kami berendam di bath tub dengan berpelukan dan jari tangan saling meremas. Selama mandi pagi ia menyabuni tubuhku dengan mesra.

"Anto.. Kalau saja setelah bekerja kamu bisa tiap minggu ke Bogor, aku akan merasa sangat senang.."
"Hanny, akupun tidak ingin hari ini berganti. Namun banyak hal yang aku harus lakukan untuk masa depanku".
"Aku mengerti To, tapi rasanya cepat sekali kita bersama dan sekarang kita sudah berpisah".
"Ada saat bertemu dan ada saat berpisah, dan lagi meskipun akau tetap di Bogor kita tidak akan bisa selamanya begini".

Ia terdiam dan tidak berbicara apa-apa lagi sampai kami selesai mandi. Hannypun kelihatan sangat berat hati ketika kami sama-sama pulang ke Bogor.

Seminggu kemudian aku sudah siap masuk kerja dan akupun pamit kepada Bapak kos dan beberapa tetangga yang mengenalku. Ketika aku pamitan dengan keluarga Pak Edi, aku masih sempat dipersilakan duduk dan mengobrol dengan Pak Edi selama setengah jam. Ia sangat berterima kasih kalau aku sudah membantu Eka anaknya, sehingga kini prestasinya terbilang cukup bagus di kelasnya. Ia sangat menyayangkan kalau aku bekerja di Jakarta dan menyarankan agar aku bisa bekerja di Bogor saja. Andai aku bisa..

Ketika aku mohon diri, disalaminya aku dengan erat. Eka juga memelukku dengan menitikkan air mata. Kuusap kepalanya dan kukatakan, "Eka harus belajar lebih rajin ya! Terima rapor cawu depan harus ranking satu!"

Hanny menyalamiku dengan tangan bergetar dan menggigit bibir bawahnya. Ia tidak sanggup menatapku. Akupun tidak berlama-lama lagi dan kembali ke kamarku.

Akupun pindah ke Jakarta, bekerja dan wanita-wanita datang dan pergi silih berganti di dalam hidupku seperti yang sudah kukisahkan dalam kisahku yang terdahulu. Baik ketika aku masih menjalin hubungan dengan Hanny maupun ketika aku sudah bekerja di Jakarta (Wanita Penjaga Showroom, Agen Asuransi, Wanita Indonesia 1-8 dan Aku Oase Para Wanita Bersuami 1-3).

Beberapa bulan kemudian ketika aku mengikuti diklat di Puncak, aku sempatkan untuk mampir ke tempat kosku dulu. Bapak kosku terlihat senang karena aku masih ingat dengan keluarganya. Ketika kusinggung tentang keluarga Pak Edi, ia menarik napas dalam-dalam. Pak Edi pindah rumah setelah Ibu Heni, Hannyku, tertangkap basah sedang bergumul dalam keadaan tanpa busana dengan seorang mahasiswa adik kelasku di atas sofa ruang tamunya.

Ahh! Anto dulu kamu juga pernah merasakan empuknya sofa itu dan tentu saja kehangatan tubuh Ibu Heni di tempat yang sama!

Tamat

0 komentar:

Posting Komentar